Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

04 Desember 2009

204 Juta untuk Prita: PRIHATIN!


Selepas pulang dari sosialisasi instrumen buku teks pelajaran di Surabaya bakda maghrib kemarin, TVOne saya hidupkan. Prita didenda 204 juta! Begitu isi beritanya. Gila, batin saya. Prita yang mengeluhkan pelayanan RS OMNI via email ke temannya justru diganjar denda dan ancaman kurungan. Sebagai orang yang pernah belajar di "hukum", saya benar-benar kecewa dan amat prihatin dengan keputusan itu. Kenapa? Karena keadilan seolah telah sirna. Saya jadi ingat kata Pak Thamrin Tamagola (Sosiolog UI) bahwa: pengadilan adalah LADANG PEMBANTAIAN KEADILAN! Begitu katanya saat debat di TVOne juga.
Entah apa yang sedang terjadi di negeri yang katanya "negara hukum" ini. Saya jadi ingat pakem-pakem dan prinsip hukum yang pernah saya baca di buku fotocopian saat kuliah dulu. Tapi itu rasanya cuma teori. Yang saya sangat ingat sewaktu kuliah adalah: HUKUM TIDAK HIDUP DI RUANG KOSONG! Saya lebih cenderung sepakat bahwa keadilan tidak hanya ditegakkan berdasarkan pasal-pasal yang bisa dibajak oleh para mafia hukum, tapi juga ditegakkan berdasar keadilan substansial (nurani). Bagi saya, sejatinya hukum adalah keadilan itu sendiri. Bukan pasal-pasal atau UU semata.
Dosen saya bilang saat itu, katanya, ada 3 hal yang berkait erat dalam penegakkan hukum: hukum itu sendiri, aparat hukum, dan budaya hukum. Sepertinya ketiga hal itu sekarang sedang "sekarat" dihisap vampir-vampir berdarah duit yang berkeliaran di institusi-institusi hukum kita, baik vampir dari luar maupun vampir jadi-jadian dari dalam.
Kembali ke kasus Prita, ada pertanyaan: dimana keadilan itu? Dimana hukum yang katanya untuk melindungi masyarakat? Katanya konsumen dilindungi UU Konsumen? Untuk apa UU ITE? Justru hukum jadi alat teror oleh orang berduit untuk meneror rakyat biasa. Untung saja Pak Fahmi Idris (mantan menteri industri, juga ketua IDI) saat wawancara langsung ikut menanggung separuh denda Prita. Prita pun menangis. "Terima kasih. Hanya Allah yang bisa membalas, Pak!" katanya seraya menghapus air matanya. Ini baru kasus Prita, masih banyak kasus lain. Akankah air mata yang tumpah karena ketidakadilan akan terus mengalir di negeri ini?

0 Responses: