Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

29 Oktober 2010

Mbah Marijan; Semelekete Gunung Merapi


Saya belum pernah bertemu dengannya. Belum juga pernah mendaki Merapi. Saya baru pernah mendaki Lawu. Dan sejak itu saya sudah tak ingin lagi mendaki, walaupun rumah tempat lahir dan masa kecil saya di pegunungan. Piki rsaya, buat apa capek-capek naik gunung, tapi kalau sudah sampai puncak malah turun lagi. Buat apa naik kalau untuk turun? Begitu persepsi saya. Tapi karena gunung itulah saya mengenalnya.

Saya belum pernah melihat biodata dia sebelumnya. Karena saya pikir, dia masih hidup. Karena masih hidup itulah, dia bagi saya masih belum seberkesan setelah tiada. Kadang saya kurang tertarik melihat biodata orang yang masih hidup walaupun terkenal. Tapi sejak meninggalnya, hati saya berontak ingin sekali melihat biodatanya. Di mana? Di Wikipedia. Ternyata ada, bahkan di Wikipedia bahasa Inggris. Dan Wikipedia-nya pun update, sehari setelah meninggalnya. Di Wikipedia ditulis Mbah Marijan meninggal tanggal 26 Oktober 2010 terkena awan panas Merapi.

Ya, dialah Mbah Marijan. Juru kunci Merapi yang fenomenal. Dia bukan pejabat, tapi mengajarkan kita arti tanggung jawab. Dia bukan panglima TNI, tapi mengajarkan kita keberanian dan keteguhan sikap. Dia bukan kyai, tapi mengajarkan kita tentang kepasrahan tolah pada Ilahi. Dia bukan hartawan, tapi royalty iklannya untuk para tetangga. Dia bukan si miskin, tapi si kaya jiwa. Dia bukan motivator, tapi telah menginspirasi dan menggerakkan banyak orang. Dia bukan artis, tapi terkenal dan tak haus popularitas. Dia bukan pasukan berani mati, tapi telah membuktikan mati demi kesetiaan tugas. Dia bukan pemuda berotot kekar, tapi si tua bersemangat baja. Dia bukan wakil rakyat, tapi benar-benar mewakili jiwa masyarakatnya. Dia bukan presiden, tapi benar-benar berkarakter pemimpin dan dicintai rakyat. Dia tak minta simpati, tapi telah menarik empati. Sekali lagi, dia bukan siapa-siapa. Dia benar-benar Mbah Marijan 100%! Yang asli, tanpa kepentingan populis, bisnis, apalagi politis.

Dialah Raden Ngabehi Surakso Hargo atau Penewu Surakso Hargo dan kita kenal dengan Mbah Maridjan. Dialah pemegang amanah juru kunci Merapi dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX sejak 1982.
Dilahirkan di tanah Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta tahun 1927. Di tanah itu pula tangal 26 Oktober 2010 kembali pada-Nya dengan bersujud saat wedhus gembel menjemputnya. Semua kehilangan, tapi bangga! Kita punya Mbah Marijan.

Untuk mengenangnya, inilah lagu Mbah Marijan dari Cak Dikin.

Mbah Marijan

Oleh: Cak Dikin

Siapa yang tidak mengenalnya
Seorang lelaki suku Jawa
Penakluk gunung yang berbahaya
Urung meletus karena doanya

Dikenal tak hanya Indonesia
Juga dikenal mancanegara
Lelaki yang perkasa
Lugu dan bersahaja

Mbah Marijan itu namanya
Mbah Marijan tokoh pemberani
Mbah Marijan tokoh disegani
Sebagai juru kunci
Banyak yang menjuluki
Semelekete Gunung Merapi

[2x:]
Mbah Marijan… (Rosa! Rosa!)
Mbah Marijan… (Rosa! Rosa!)
Mbah Marijan pancen rosa

Surabaya, 29 Oktober 2010
Ratman Boomen

28 Oktober 2010

Mental Kere!


Saya benar-benar tidak suka dengan yang satu ini: mental kere! Kere (bahasa Jawa) di sini yang dimaksud adalah miskin. Saya juga tidak mau dibilang, apalagi masuk anggota pengidap mental kere. Saya pun sebenarnya tidak tahu apa definisi final mental kere, karena memang tidak ada definisi finalnya. Jangankan kamus, di daftar istilah saja mungkin tidak banyak ditemukan. Namun, bukan karena tidak ada definisi final itulah, saya lalu tak bisa merasakan dan mendefinisikan dengan definisi saya. Justru sebaliknya, saya bisa mendefinisikan “mental kere” dengan pengalaman empiris yang saya hadapi. Tentu subyektif. Anda pun bisa berbeda dengan saya dan mendebat karenanya.

Siapa yang mau dibilang kere? Tidak ada, bahkan yang faktanya kere (secara materi) sekalipun. Apalagi yang benar-benar tidak kere. Jika kere dalam hal materi saja tidak ada orang yang mau, tapi nyatanya ada juga yang mengidap mental kere tanpa mau tahu. Jika kere dengan tak punya banyak uang, itu bisa banyak orang memahami dan menerima. Tapi, mental kere banyak orang tak memahami sehingga ia “menerima” (lebih tepatnya mengidap). Jika kere duit itu material (fisik), maka mental kere adalah immaterial (psikis), lebih ke karakter dan cara berpikir. Jika kere duit bisa diubah dengan kerja keras, maka mental kere tak mudah dikikis walaupun dengan rupiah yang melimpah.

Lalu, apa sih mental kere itu? Menurut saya, mental kere itu ada dua. Pertama, orang yang sebenarnya tidak kere secara materi, tapi mentalnya benar-benar kere. Mental kere jenis ini adalah manifestasi dari kerakusan dan kepelitan. Contohnya, orang kaya atau berkecukupan yang masih suka korupsi dan menjarah uang yang bukan haknya. Atau, orang kaya yang tidak mau menegeluarkan uangnya untuk membantu sesama dan hanya menumpuk-numpuknya. Kedua, orang yang kere secara materi, tapi tidak mau (susah) untuk mengubah diri dari kekereannya itu. Mental kere jenis ini adalah manifestasi kebodohan dan kelemahan. Bodoh dan lemah dalam motivasi hidup dan semangat perubahan. Walaupun ada banyak kesempatan mengubah kekereannya, tapi kesempatan itu tak diambilnya. Kalaupun dimotivasi untuk berubah, dia malas dan tak mau berusaha keras.

Dua jenis mental kere ini ada di dunia nyata kita. Kalau jenis mental kere yang pertama, kita sudah banyak tahu. Nah, jenis mental kere kedua inilah yang sempat saya temui sendiri. Ini yang sempat membuat saya mangkel, walaupun jenis mental kere pertama juga tidak kalah membuat anyel. Inilah pengalaman saya dengan mental kere kedua ini. Suatu saat, ada seorang pemuda di kampung lulusan SMA yang kerjanya tidak jelas. Bisa dibilang menganggur. Lantas ada informasi lowongan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke Korea. Untuk bisa ikut TKI ini harus membayar 8 juta ke lembaga yang katanya mengurusnya. Pemuda itu tergoda dengan gaji yang katanya belasan juta jika dikurskaan ke rupiah itu. Dia ingin instan mengubah hidupnya. Maka, pemuda itu pun tergiur dan membayar 8 juta walaupun harus menyusahkan orangtuanya. Orangtuanya harus berhutang pada saudaranya untuk kepentingan itu. Akhirnya setelah beberapa waktu, pemuda inipun ikut ke pelatihan TKI. Namun, sampe beberapa bulan tak jadi berangkat ke Korea. Bahkan hingga dua tahun tidak berangkat-berangkat. Harapan tinggal harapan. Uang tak bisa kembali dan lembaga yang mengurus TKI itupun tidak jelas juntrungnya. Kesimpulan saya: dia ditipu!

Setelah dua tahun ditipu soal TKI itu, pemuda ini dikabari kakaknya. Di kota kakaknya ada lowongan kerja milik teman kakaknya itu. Bahkan, teman kakaknya minta dicarikan orang untuk menghandle pekerjaan itu. Lowongan kerja ini bisa dijamin kebenarannya dan tanpa dipungut biaya serupiah pun. Lowongan kerja ini butuh segera diisi karena memang benar-benar butuh orang. Ketika ditelpon oleh kakaknya, si pemuda itu tidak mau karena alasan yang sangat sepele: sedang membantu memperbaiki dapur rumah. Padahal orangtuanya sudah menyuruh dia untuk pergi mengisi kesempatan kerja itu. Kecewalah sang kakak dengan si pemuda itu. Kesempatan mengubah diri yang sudah jelas, malah ditolaknya. Sedangkan penipuan TKI 8 juta dia mau. Tidak hanya itu. Kakaknya sudah berkali-kali memberikan motivasi dan bantuan pekerjaan untuk dia, tapi selalu saja tidak mau dengan berbagai alasan yang sebenarnya konyol dan bodoh.

Setelah kejadian kedua itu. Tak lama si pemuda mendapat kabar dari tetangganya bahwa ada lowongan pekerjaan sebuah perusahaan otomotif di Jakarta. Tapi, untuk masuk lowongan kerja itu harus bayar 3 juta. Informasi lowongan kerja ini pun tidak jelas dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Pemuda itu pun sepertinya tergoda dengan lowongan pekerjaan abal-abal itu. “Dasar mental kere,” begitu mungkin batin kakaknya. Jika pemuda-pemuda bermental kere seperti ini, maka bahaya mengancam Indonesia. []

02 Oktober 2010

Ngangsu Kawruh dari Richard Branson


Sekitar beberapa malam yang lalu saya hampir tidak sengaja melihat tayangan BNI Inspire Lecture 2010 (27 September) di Metro TV. Saya sebut “hampir” karena kalau tidak kebetulan saya lihat saat itu dan acaranya menurut saya tidak bagus, saya tak akan menontonnya. Bagi saya bukan “acara” itu yang membuat saya tertarik, tapi “tokoh” yang dihadirkan dalam acara tersebut. Sebelumnya diberitakan Richard Branson yang datang mengisi agenda BNI itu dengan naik andong. Naik andong inilah yang memantik saya, pasti orangnya “aneh” bin nyentrik. Siapa Richard Branson? Saya waktu itu juga tidak begitu tahu. Dan saya yakin dia pasti tidak tahu saya. Richard pun tentu tak penting saya tahu dia. Namun demikian, nama dan wajahnya terasa tak asing di benak ini. Magnet yang menarik saya jadi menonton tayangan itu adalah karena Si Richard disebut “pengusaha legendaris Inggris” yang memiliki 250-an perusahaan Virgin Company. Edan, to? Otak saya langsung berpikir, pasti inspiring benar orang ini. Saya pun lalu ingin menontonnya. Seperti apa sih dia?

Benar saja, pengusaha nyentrik dengan rambut pirang gondrong itu memang inspiring. Gila, edan, asem tenan, ucap saya berkali-kali saat mengikuti obrolannya dengan Ira Kusno, sang pembawa acara, dan penanya saat itu. Istri saya yang sedang di depan komputer kamar sebelah jadi tertarik ikut-ikutan nonton dari kejauhan dan minta volume televisinya dikeraskan. Ide-ide out of the box dan inspiring meluncur dengan gaya santainya dari pria yang “tidak selesai” sekolah dengan predikat nilai berhitung dan membaca rendah. Edan meneh, to? Gelak tawa pun membuat suasana makin renyah.

Ada hal unik di awal pembicaraannya yang membuat saya kaget, kagum, dan ngekek-ngekek. Ketika itu Richard ditanya oleh Ira Kusno, “Sir, kenapa Anda memakai baju batik?” Apa kira-kira jawabannya? “Menurut saya, ekspor terburuk Inggris ke Asia adalah setelan jas dan dasi. Kenapa orang Asia malah pakai jas dan dasi, seperti seragam sekolah di Jepang itu?” Jawabannya sungguh edan. Benar-benar di luar dugaan saya, mungkin juga di luar dugaan Anda. Dan pastinya, di luar dugaan orang Inggris sekalipun. Ratu Inggris pun sepertinya tak berani mengucapkan jawaban demikian. Hahahaha….. Saya lihat, orang-orang bule yang mungkin dari Inggris di acara itu tersenyum kecut, mungkin agak tersinggung. “Batik itu lebih bagus. Batik punya nilai individualitas yang tak dimiliki jas dan dasi,” imbuhnya. Apa kira-kira maksud “individualitas” yang dimaksud Richard? Menurut saya sih mungkin nilai “unik budaya asli” yang dimiliki Indonesia.

Hal lain yang menarik saat ditanya Hermawan Kertajaya, pakar marketing dari Surabaya itu. “Anda tak lulus sekolah. Anda juga bukan dari golongan bangsawan. Tapi, dengan menjadi pengusaha sukses, Anda mendapat gelar Doktor honoris causa dan gelar “Sir” dari Ratu Inggris. Dengan demikian, untuk menjadi orang sukses tak harus pendidikannya tinggi dan dari bangsawan. Apakah Anda setuju?” tanya Hermawan. Richard menjawab sambil senyum-senyum. “Hehehe… Iya juga, tapi kuliah juga lebih baik.”

Obrolan yang tidak terlalu lama itu, karena Richard akan segera terbang ke New York, memiliki banyak catatan yang bisa saya ambil. Apa saja? Berikut ini catatan saya yang mungkin bisa bermanfaat bagi Anda, mungkin juga tidak, yang pasti bermanfaat bagi saya.

Berpikir di Luar Biasa (Think Out Of the Box)
Ini sama dengan untuk tidak seperti pepatah lokal kita, “katak dalam tempurung”. Berpikir di luar “yang biasa” saya catat dari ide-ide bisnis yang telah direalisasikannya. Tidak sekadar ide, tapi benar-benar telah diwujudkannya. Siapa yang berpikir bahwa orang bisa menikmati wisata angkasa? Tidak hanya wisata pantai, gunung, air terjun atau lainnya. Tapi, meraih yang mungkin orang memikirkannya pun seolah mustahil. Richard punya ide dan membuat kenyataan dengan salah satu perusahaannya: Virgin Galactic.

Jadilah Berbeda dan Terbaik (Be Different and the Best)

Menjadi berbeda dengan lebih baik, begitu kira-kira yang saya catat saat Richard menjawab seorang penanya. Jika ingin menjadi unggulan, jadilah berbeda dengan kualitas yang lebih baik, bahkan terbaik. Richard mencontohkan, jika ada perusahaan A, B, dan C memiliki produk X yang biasa-biasa, maka jadilah perusahaan lain dengan produk X terbaik yang berbeda dari perusahaan yang sudah ada itu. Buatlah kualitas unggulan yang tidak dimiliki perusahaan yang telah ada. Kualitas unggulan itulah yang akan dicari orang. Beranilah jadi saingan, katanya.

Jadilah Keluarga (Be a Family)
Kalau saya tidak salah, saat menjawab pertanyaan dari Menteri Perdagangan Mari Ela pangestu, Richard melontarkan prinsip “menjadi keluarga”. Ia bercerita bagaimana sikap dan pandangannya terhadap perusahaan serta karyawannya. Perusahaan itu adalah orang-orangnya. Oleh karenanya, Richard menjadikan karyawan sebagai bagian dari keluarganya. Bukan sebagai jongos dan “orang lain” yang harus ditekan dan wajib patuh tanpa reserve dengan pimpinan. Karena jongos, maka dianggap tak akan ada ide brilian darinya, tak diberi ruang ekspresi, juga tak boleh bereksperimen apapun a. Karena dianggap orang lain, maka tak perlu lebih dekat secara pemikiran dan psikologis dengannya. Aku bos, kamu jongos! Jika pimpinan perusahaan menjadi raja diktator macam itu, karyawan yang dari sononya brilian pun akan jumud dan tak pernah berkembang. Maka, jangan salahkan jika si karyawan jadi “pemberontak” dan akhirnya desertir.

Dekat dan Menggali Ide dari Bawah (Near and from Buttom Up)
Karena Richard menganggap orang-orang yang bekerja bersamanya adalah keluarganya, maka kedekatan pasti terbangun. Psikologis, pemikiran, ide, visi dan misi perusahaan akan terbangun sinergi antara pimpinan dan legium karyawan. Karena dekat itulah sehingga tak ada jurang (barrier) yang secara psikologis, bahkan teknis membelenggu dan mengganggu. Karyawan adalah partner yang berhak mengungkapkan ide-ide dan keluhannya secara bebas untuk kemudian menjadi pertimbangan serius. Bahkan, bisa jadi ide brilian yang mewujud dan solusi sebuah persoalan yang sedang melilit. Ide brilian dan solusi jitu tak selalu muncul dari bos, bisa juga dari “jongos”. Bagaimana kedekatan Richard dengan karyawan dan cara mengali ide dari bawah?

Saya terkagum-kagum dengan cara Richard menggali ide dan mendekati karyawan. Dia memberikan contoh apa yang telah dilakukannya. Richard yang ingin membangun maskapai penerbangan terbaik di Inggris, ia menjelajahi semua rute penerbangan yang ada. Sambil membawa notebook, pengusaha yang berangkat dari membuat majalah ini duduk di kursi yang membuatnya nyaman di pesawat. Di setiap penerbangan itulah Richard ngobrol dan bertanya dengan para penumpang, peragawati, teknisi, dan pilot. Berbagai ide, keluhan, juga harapan tentang maskapai penerbangan Richard catat di buku catatannya itu.

Jika Richard melakukan hingga sampai demikian, pastilah dia begitu memperhatikan saat ngobrol dengan mereka itu. Tidak seperti banyak bos yang jika karyawannya mengungkapkan ide , keluhan atau harapannya, dia malah ngobrol sendiri atau pura-pura memperhatikan. Bahkan, ada juga boas yang dating dan mau ngobrol dengan karyawannya pun tidak. Hasil ngobrol itu tentu tak sekadar dicatat Richard, tapi diformulasikan dalam satu masterplan yang akan diwujudkan. Tidak seperti banyak bos lain, masukan dari karyawan hanya menjadi bekas catatan notulensi rapat dan tak pernah jadi kenyataan. Dari kegiatan ngobrol dan keliling turun ke bawah itulah dalam dua tahun maskapai penerbangan Richard mampu menjadi yang terbaik.

Itulah catatan saya, mungkin Anda yang juga menontonnya punya catatan lebih banyak dan lebih baik dari saya. Ada kesimpulan saya yang lain, ternyata pengusaha-pengusaha sukses itu: tidak biasa, berbeda, berpikir simple, solutif, berani (kalau tidak dibilang nekad), kritis, humoris, dan humanis. []

Surabaya, 2 Oktober 2010
Ratman Boomen
ratmanboomen@gmail.com