Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

28 Oktober 2010

Mental Kere!


Saya benar-benar tidak suka dengan yang satu ini: mental kere! Kere (bahasa Jawa) di sini yang dimaksud adalah miskin. Saya juga tidak mau dibilang, apalagi masuk anggota pengidap mental kere. Saya pun sebenarnya tidak tahu apa definisi final mental kere, karena memang tidak ada definisi finalnya. Jangankan kamus, di daftar istilah saja mungkin tidak banyak ditemukan. Namun, bukan karena tidak ada definisi final itulah, saya lalu tak bisa merasakan dan mendefinisikan dengan definisi saya. Justru sebaliknya, saya bisa mendefinisikan “mental kere” dengan pengalaman empiris yang saya hadapi. Tentu subyektif. Anda pun bisa berbeda dengan saya dan mendebat karenanya.

Siapa yang mau dibilang kere? Tidak ada, bahkan yang faktanya kere (secara materi) sekalipun. Apalagi yang benar-benar tidak kere. Jika kere dalam hal materi saja tidak ada orang yang mau, tapi nyatanya ada juga yang mengidap mental kere tanpa mau tahu. Jika kere dengan tak punya banyak uang, itu bisa banyak orang memahami dan menerima. Tapi, mental kere banyak orang tak memahami sehingga ia “menerima” (lebih tepatnya mengidap). Jika kere duit itu material (fisik), maka mental kere adalah immaterial (psikis), lebih ke karakter dan cara berpikir. Jika kere duit bisa diubah dengan kerja keras, maka mental kere tak mudah dikikis walaupun dengan rupiah yang melimpah.

Lalu, apa sih mental kere itu? Menurut saya, mental kere itu ada dua. Pertama, orang yang sebenarnya tidak kere secara materi, tapi mentalnya benar-benar kere. Mental kere jenis ini adalah manifestasi dari kerakusan dan kepelitan. Contohnya, orang kaya atau berkecukupan yang masih suka korupsi dan menjarah uang yang bukan haknya. Atau, orang kaya yang tidak mau menegeluarkan uangnya untuk membantu sesama dan hanya menumpuk-numpuknya. Kedua, orang yang kere secara materi, tapi tidak mau (susah) untuk mengubah diri dari kekereannya itu. Mental kere jenis ini adalah manifestasi kebodohan dan kelemahan. Bodoh dan lemah dalam motivasi hidup dan semangat perubahan. Walaupun ada banyak kesempatan mengubah kekereannya, tapi kesempatan itu tak diambilnya. Kalaupun dimotivasi untuk berubah, dia malas dan tak mau berusaha keras.

Dua jenis mental kere ini ada di dunia nyata kita. Kalau jenis mental kere yang pertama, kita sudah banyak tahu. Nah, jenis mental kere kedua inilah yang sempat saya temui sendiri. Ini yang sempat membuat saya mangkel, walaupun jenis mental kere pertama juga tidak kalah membuat anyel. Inilah pengalaman saya dengan mental kere kedua ini. Suatu saat, ada seorang pemuda di kampung lulusan SMA yang kerjanya tidak jelas. Bisa dibilang menganggur. Lantas ada informasi lowongan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke Korea. Untuk bisa ikut TKI ini harus membayar 8 juta ke lembaga yang katanya mengurusnya. Pemuda itu tergoda dengan gaji yang katanya belasan juta jika dikurskaan ke rupiah itu. Dia ingin instan mengubah hidupnya. Maka, pemuda itu pun tergiur dan membayar 8 juta walaupun harus menyusahkan orangtuanya. Orangtuanya harus berhutang pada saudaranya untuk kepentingan itu. Akhirnya setelah beberapa waktu, pemuda inipun ikut ke pelatihan TKI. Namun, sampe beberapa bulan tak jadi berangkat ke Korea. Bahkan hingga dua tahun tidak berangkat-berangkat. Harapan tinggal harapan. Uang tak bisa kembali dan lembaga yang mengurus TKI itupun tidak jelas juntrungnya. Kesimpulan saya: dia ditipu!

Setelah dua tahun ditipu soal TKI itu, pemuda ini dikabari kakaknya. Di kota kakaknya ada lowongan kerja milik teman kakaknya itu. Bahkan, teman kakaknya minta dicarikan orang untuk menghandle pekerjaan itu. Lowongan kerja ini bisa dijamin kebenarannya dan tanpa dipungut biaya serupiah pun. Lowongan kerja ini butuh segera diisi karena memang benar-benar butuh orang. Ketika ditelpon oleh kakaknya, si pemuda itu tidak mau karena alasan yang sangat sepele: sedang membantu memperbaiki dapur rumah. Padahal orangtuanya sudah menyuruh dia untuk pergi mengisi kesempatan kerja itu. Kecewalah sang kakak dengan si pemuda itu. Kesempatan mengubah diri yang sudah jelas, malah ditolaknya. Sedangkan penipuan TKI 8 juta dia mau. Tidak hanya itu. Kakaknya sudah berkali-kali memberikan motivasi dan bantuan pekerjaan untuk dia, tapi selalu saja tidak mau dengan berbagai alasan yang sebenarnya konyol dan bodoh.

Setelah kejadian kedua itu. Tak lama si pemuda mendapat kabar dari tetangganya bahwa ada lowongan pekerjaan sebuah perusahaan otomotif di Jakarta. Tapi, untuk masuk lowongan kerja itu harus bayar 3 juta. Informasi lowongan kerja ini pun tidak jelas dan tak bisa dipertanggungjawabkan. Pemuda itu pun sepertinya tergoda dengan lowongan pekerjaan abal-abal itu. “Dasar mental kere,” begitu mungkin batin kakaknya. Jika pemuda-pemuda bermental kere seperti ini, maka bahaya mengancam Indonesia. []

0 Responses: