Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

02 Oktober 2010

Ngangsu Kawruh dari Richard Branson


Sekitar beberapa malam yang lalu saya hampir tidak sengaja melihat tayangan BNI Inspire Lecture 2010 (27 September) di Metro TV. Saya sebut “hampir” karena kalau tidak kebetulan saya lihat saat itu dan acaranya menurut saya tidak bagus, saya tak akan menontonnya. Bagi saya bukan “acara” itu yang membuat saya tertarik, tapi “tokoh” yang dihadirkan dalam acara tersebut. Sebelumnya diberitakan Richard Branson yang datang mengisi agenda BNI itu dengan naik andong. Naik andong inilah yang memantik saya, pasti orangnya “aneh” bin nyentrik. Siapa Richard Branson? Saya waktu itu juga tidak begitu tahu. Dan saya yakin dia pasti tidak tahu saya. Richard pun tentu tak penting saya tahu dia. Namun demikian, nama dan wajahnya terasa tak asing di benak ini. Magnet yang menarik saya jadi menonton tayangan itu adalah karena Si Richard disebut “pengusaha legendaris Inggris” yang memiliki 250-an perusahaan Virgin Company. Edan, to? Otak saya langsung berpikir, pasti inspiring benar orang ini. Saya pun lalu ingin menontonnya. Seperti apa sih dia?

Benar saja, pengusaha nyentrik dengan rambut pirang gondrong itu memang inspiring. Gila, edan, asem tenan, ucap saya berkali-kali saat mengikuti obrolannya dengan Ira Kusno, sang pembawa acara, dan penanya saat itu. Istri saya yang sedang di depan komputer kamar sebelah jadi tertarik ikut-ikutan nonton dari kejauhan dan minta volume televisinya dikeraskan. Ide-ide out of the box dan inspiring meluncur dengan gaya santainya dari pria yang “tidak selesai” sekolah dengan predikat nilai berhitung dan membaca rendah. Edan meneh, to? Gelak tawa pun membuat suasana makin renyah.

Ada hal unik di awal pembicaraannya yang membuat saya kaget, kagum, dan ngekek-ngekek. Ketika itu Richard ditanya oleh Ira Kusno, “Sir, kenapa Anda memakai baju batik?” Apa kira-kira jawabannya? “Menurut saya, ekspor terburuk Inggris ke Asia adalah setelan jas dan dasi. Kenapa orang Asia malah pakai jas dan dasi, seperti seragam sekolah di Jepang itu?” Jawabannya sungguh edan. Benar-benar di luar dugaan saya, mungkin juga di luar dugaan Anda. Dan pastinya, di luar dugaan orang Inggris sekalipun. Ratu Inggris pun sepertinya tak berani mengucapkan jawaban demikian. Hahahaha….. Saya lihat, orang-orang bule yang mungkin dari Inggris di acara itu tersenyum kecut, mungkin agak tersinggung. “Batik itu lebih bagus. Batik punya nilai individualitas yang tak dimiliki jas dan dasi,” imbuhnya. Apa kira-kira maksud “individualitas” yang dimaksud Richard? Menurut saya sih mungkin nilai “unik budaya asli” yang dimiliki Indonesia.

Hal lain yang menarik saat ditanya Hermawan Kertajaya, pakar marketing dari Surabaya itu. “Anda tak lulus sekolah. Anda juga bukan dari golongan bangsawan. Tapi, dengan menjadi pengusaha sukses, Anda mendapat gelar Doktor honoris causa dan gelar “Sir” dari Ratu Inggris. Dengan demikian, untuk menjadi orang sukses tak harus pendidikannya tinggi dan dari bangsawan. Apakah Anda setuju?” tanya Hermawan. Richard menjawab sambil senyum-senyum. “Hehehe… Iya juga, tapi kuliah juga lebih baik.”

Obrolan yang tidak terlalu lama itu, karena Richard akan segera terbang ke New York, memiliki banyak catatan yang bisa saya ambil. Apa saja? Berikut ini catatan saya yang mungkin bisa bermanfaat bagi Anda, mungkin juga tidak, yang pasti bermanfaat bagi saya.

Berpikir di Luar Biasa (Think Out Of the Box)
Ini sama dengan untuk tidak seperti pepatah lokal kita, “katak dalam tempurung”. Berpikir di luar “yang biasa” saya catat dari ide-ide bisnis yang telah direalisasikannya. Tidak sekadar ide, tapi benar-benar telah diwujudkannya. Siapa yang berpikir bahwa orang bisa menikmati wisata angkasa? Tidak hanya wisata pantai, gunung, air terjun atau lainnya. Tapi, meraih yang mungkin orang memikirkannya pun seolah mustahil. Richard punya ide dan membuat kenyataan dengan salah satu perusahaannya: Virgin Galactic.

Jadilah Berbeda dan Terbaik (Be Different and the Best)

Menjadi berbeda dengan lebih baik, begitu kira-kira yang saya catat saat Richard menjawab seorang penanya. Jika ingin menjadi unggulan, jadilah berbeda dengan kualitas yang lebih baik, bahkan terbaik. Richard mencontohkan, jika ada perusahaan A, B, dan C memiliki produk X yang biasa-biasa, maka jadilah perusahaan lain dengan produk X terbaik yang berbeda dari perusahaan yang sudah ada itu. Buatlah kualitas unggulan yang tidak dimiliki perusahaan yang telah ada. Kualitas unggulan itulah yang akan dicari orang. Beranilah jadi saingan, katanya.

Jadilah Keluarga (Be a Family)
Kalau saya tidak salah, saat menjawab pertanyaan dari Menteri Perdagangan Mari Ela pangestu, Richard melontarkan prinsip “menjadi keluarga”. Ia bercerita bagaimana sikap dan pandangannya terhadap perusahaan serta karyawannya. Perusahaan itu adalah orang-orangnya. Oleh karenanya, Richard menjadikan karyawan sebagai bagian dari keluarganya. Bukan sebagai jongos dan “orang lain” yang harus ditekan dan wajib patuh tanpa reserve dengan pimpinan. Karena jongos, maka dianggap tak akan ada ide brilian darinya, tak diberi ruang ekspresi, juga tak boleh bereksperimen apapun a. Karena dianggap orang lain, maka tak perlu lebih dekat secara pemikiran dan psikologis dengannya. Aku bos, kamu jongos! Jika pimpinan perusahaan menjadi raja diktator macam itu, karyawan yang dari sononya brilian pun akan jumud dan tak pernah berkembang. Maka, jangan salahkan jika si karyawan jadi “pemberontak” dan akhirnya desertir.

Dekat dan Menggali Ide dari Bawah (Near and from Buttom Up)
Karena Richard menganggap orang-orang yang bekerja bersamanya adalah keluarganya, maka kedekatan pasti terbangun. Psikologis, pemikiran, ide, visi dan misi perusahaan akan terbangun sinergi antara pimpinan dan legium karyawan. Karena dekat itulah sehingga tak ada jurang (barrier) yang secara psikologis, bahkan teknis membelenggu dan mengganggu. Karyawan adalah partner yang berhak mengungkapkan ide-ide dan keluhannya secara bebas untuk kemudian menjadi pertimbangan serius. Bahkan, bisa jadi ide brilian yang mewujud dan solusi sebuah persoalan yang sedang melilit. Ide brilian dan solusi jitu tak selalu muncul dari bos, bisa juga dari “jongos”. Bagaimana kedekatan Richard dengan karyawan dan cara mengali ide dari bawah?

Saya terkagum-kagum dengan cara Richard menggali ide dan mendekati karyawan. Dia memberikan contoh apa yang telah dilakukannya. Richard yang ingin membangun maskapai penerbangan terbaik di Inggris, ia menjelajahi semua rute penerbangan yang ada. Sambil membawa notebook, pengusaha yang berangkat dari membuat majalah ini duduk di kursi yang membuatnya nyaman di pesawat. Di setiap penerbangan itulah Richard ngobrol dan bertanya dengan para penumpang, peragawati, teknisi, dan pilot. Berbagai ide, keluhan, juga harapan tentang maskapai penerbangan Richard catat di buku catatannya itu.

Jika Richard melakukan hingga sampai demikian, pastilah dia begitu memperhatikan saat ngobrol dengan mereka itu. Tidak seperti banyak bos yang jika karyawannya mengungkapkan ide , keluhan atau harapannya, dia malah ngobrol sendiri atau pura-pura memperhatikan. Bahkan, ada juga boas yang dating dan mau ngobrol dengan karyawannya pun tidak. Hasil ngobrol itu tentu tak sekadar dicatat Richard, tapi diformulasikan dalam satu masterplan yang akan diwujudkan. Tidak seperti banyak bos lain, masukan dari karyawan hanya menjadi bekas catatan notulensi rapat dan tak pernah jadi kenyataan. Dari kegiatan ngobrol dan keliling turun ke bawah itulah dalam dua tahun maskapai penerbangan Richard mampu menjadi yang terbaik.

Itulah catatan saya, mungkin Anda yang juga menontonnya punya catatan lebih banyak dan lebih baik dari saya. Ada kesimpulan saya yang lain, ternyata pengusaha-pengusaha sukses itu: tidak biasa, berbeda, berpikir simple, solutif, berani (kalau tidak dibilang nekad), kritis, humoris, dan humanis. []

Surabaya, 2 Oktober 2010
Ratman Boomen
ratmanboomen@gmail.com

0 Responses: