Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

31 Maret 2011

MASJID BIRU DAN BERKAH SOEKARNO


Oleh: M. Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku MPV, Jaring Pena, 2010)

Masjid Biru St. Petersburg.
Simbol persaudaraan.
Simbol kepedulian.
Indonesia dan Rusia.


Komentar tegas Presiden Soekarno akhirnya membuat Kremlin Moskow mengizinkan umat Islam di Petersburg kembali diperbolehkan melaksanakan salat di negeri komunis ini. Sesuatu yang selalu ada dalam ingatan umat Islam St. Petersburg.
Bermimpi berkunjung ke masjid ini bagi muslim Indonesia yang sedang berada di Rusia, bukan sesuatu yang aneh apalagi salah. Berbagai cerita unik yang pernah dilansir di media massa maupun buku selalu memberikan tambahan semangat untuk berziarah ke masjid penuh sejarah tersebut. Inilah tempat yang terus menjadi tujuan ribuan pelancong yang datang dari tanah air.

Tanggal 5 Ramadan 1430 H, pukul 19.00, waktu setempat. Tiupan angin sejuk merasuk ke tubuh saat Mercedes yang saya tumpangi berhenti persis di depan masjid paling megah di kota ujung barat utara Rusia, St. Petersburg. Rasa lelah perjalanan panjang selama 9 jam dari kota Moskow seolah terobati dengan cuaca yang benar-benar bersahabat. Layaknya di surga, tidak terlalu panas tidak juga dingin. Sunggingan matahari sore itu menambah kemolekan kota yang dulu dikenal dengan sebutan Leningrad. Temperatur menunjuk pada angka 17 derajat Celsius.

St. Petersburg didirikan oleh Peter the Great pada abad 17. Kota yang senantiasa menjadi rebutan banyak negara dalam berbagai masa itu memang sangat cantik, berarsitektur ala Eropa Barat dan terletak di delta sungai Neva. Kota ini pernah menjadi ibukota kekaisaran Rusia selama 200 tahun. Di sini pula berdiri istana-istana terkenal, seperti istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, benteng Peter and Paul serta lanskap kota yang tidak kalah dengan kota mode Paris.
Diantara kelebihan kota ini adalah adanya sebuah masjid yang sering disebut The Blue Mosque atau Masjid Biru. Meski nama aslinya adalah Masjid Jam’ul Muslimin, orang lebih sering mengasosiasikannya dengan kubah dan gerbang warna biru nan cantik yang dimilikinya. Letaknya yang berada di jantung kota dan diantara berbagai obyek wisata utama, menjadikan masjid ini dikenal oleh siapapun.

Keunikan lain dari kota yang berbatasan dengan Finlandia tersebut karena memiliki musim panas yang sangat panjang. Pada minggu ketiga bulan Juli, mahahari dari sini bisa terlihat selama 24 jam selama dua hari. Inilah yang sering disebut dengan white night (malam putih). Sebuah fenomena alam yang digandrungi ratusan ribu pelancong untuk menikmatinya.

“Assalamu’alaikum. Vie iz Indonesiyi (Anda dari Indonesia)?” Seorang dengan wajah berkharisma dan berpakaian ala orang terhormat Arab menyapa dengan penuh hangat. “Kenalkan, saya Mufti Ja’far Nasibullah yang bertanggungjawab atas masjid ini selama 31 tahun terakhir. Silakan masuk ke rumah Allah,” lanjutnya sambil menjabat erat.
Dari tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kulit yang sedikit berwarna serta wajah yang oval, mudah ditebak bahwa sang Mufti ini pastilah berasal dari kawasan selatan Rusia, wilayah yang banyak dihuni oleh mereka yang beragama Islam.
Memasuki masjid ini terasa sejuk di hati dan seolah berada di suatu tempat yang akrab dengan diri kita: tempat bersujud. Di atas pintu masuknya, sebuah kaligrafi berukuran sedang memberikan perintah berdasarkan ayat Tuhan: “Masuklah dengan damai dan aman.”

Setelah melewati ruang penerimaan, kita akan langsung masuk ke dalam masjid lantai pertama yang mampu menampung lebih dari dua ribuan jamaah. Kubah yang dari luar berwana biru, di dalamnya terdapat ukiran dan lukisan yang terpengaruh oleh budaya Arab dan menggantung di tengah-tengahnya lampu bulat besar bertatahkan kaligrafi buatan Rusia dengan berat lebih dari 2 ton.

Dari kejauhan terlihat mihrab yang agung berwarna biru terbuat dari ribuan marmer yang didesain khusus. Di tengah-tengahnya terdapat siluet berupa kaligrafi yang menegaskan pesan-pesan Tuhan tentang kebaikan dan kebijakan yang harus dianut oleh umatnya. Di sampingnya, terdapat mimbar khutbah dengan tangganya yang tinggi terbuat dari kayu yang sangat terawat. Pada saat khatib naik mimbar, ia akan memegang tongkat yang merupakan pengganti tombak pada zaman para sahabat Nabi.
Lantai dua dan tiga dipakai untuk salat jamaah wanita, sehingga tidak perlu sekat seperti yang ada di beberapa masjid. Uniknya, untuk bisa mengikuti salat berjamaah, para wanita hanya bisa melihat ke imam melalui dua jendela yang telah disiapkan. Melihat modelnya, jendela ini pastilah model Mesir seperti yang kita bisa lihat dalam film Ayat-Ayat Cinta-nya Hanung Bramantyo.

Pilar-pilar besar penyangga kubah dan lantai dua dan tiga dihiasi dengan aneka lukisan bunga yang lebih mirip budaya Rusia bagian selatan. Pembagian ruangan yang lega serta kebersihannya yang terjaga membuat para jamaah betah berzikir di dalamnya. Di bulan Ramadan tahun ini, jamaah salat tarawih tidak terlalu banyak atau hanya sekitar 300-an orang. Ini disebabkan puasa jatuh pada musim panas sehingga salat tarawih dilakukan hampir tengah malam sehingga banyak jamaah kesulitan mendapatkan transportasi umum pada saat pulang ke rumah.

Ada juga kaligrafi terbuat dari kayu berukuran sekitar satu kali dua meter yang terpajang di samping ruang imam salat. Tembakan dua lampu dari samping dan atas memberikan nuansa tersendiri atas tatahan indah surah al-Fatihah yang berada di tengah-tengah ukiran model Bali. “Yang satu ini memang hadiah dari Presiden Megawati Soekarnoputri,” ujar sang Mufti dengan bangga.

Mengenang Jasa Soekarno
Memang, hubungan antara masjid ini dengan mantan presiden pertama Indonesia, Soekarno, tidak bisa dipisahkan. Di negeri komunis Uni Soviet, nama Soekarno sangat dikenal. Bukan hanya dianggap sebagai teman dalam Perang Dingin melawan poros Barat, namun juga sebagai presiden muslim yang memberikan “berkah” bagi sebagian muslim di negeri Beruang Putih ini.

Menurut Ja’far Nasibullah, suatu hari di tahun 1955, Soekarno berkunjung ke St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad. Ia datang dan menikmati kota indah ini dengan putri kecilnya yang bernama Megawati Soekarnoputri.
Dari dalam mobil itu, Soekarno sekilas melihat sebuah bangunan yang unik dan tidak ada duanya. Sopir diminta memutar haluan untuk melihat bangunan tersebut. Namun, sang sopir tak menuruti permintaan orang nomor satu RI itu. Tidak ada perintah untuk memutar apalagi berhenti.

Pada zaman itu, di bawah pemerintahan komunis nyaris tidak ada kekuasaan dan kesempatan berdiskusi yang diberikan kepada seorang sopir. Dari pembicaraan dengan beberapa pihak, Soekarno akhirnya tahu bahwa gedung itu adalah sebuah masjid yang saat itu dijadikan gudang.

Dalam suatu pertemuan dengan pejabat setempat, Presiden melontarkan permintaan agar pada hari berikutnya diatur suatu kunjungan ke masjid yang dilihatnya. Namun, aturan protokoler tidak memungkinkan karena acara yang disusun sudah sangat padat. Dalam cerita lain menyebutkan Soekarno sempat mampir sekilas.

Setelah dua hari menikmati keindahan kota St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad, Soekarno terbang ke Moskow untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi guna membahas masa depan kerja sama bilateral dan berbagai posisi kunci dalam Perang Dingin yang terus memuncak. Dalam bincang-bincang di istana Kremlin itu sempat tersiar kabar suatu pembicaraan yang unik diantara kedua pemimpin bangsa.
“Bagaimana kunjungan ke Leningrad, Tuan Presiden. Tentu sangat menyenangkan, bukan?” tanya pemimpin Rusia saat itu.
Di luar dugaan, Soekarno memberikan jawaban yang mengagetkan.
“Rasanya saya belum pernah ke Leningrad,” ujar Soekarno.
“Tuan Presiden memang pandai bertutur. Ada apa yang salah dengan Leningrad? Bukannya kemarin dua hari berjalan-jalan dengan Sang Putri di sana?”
“Ya. Kami memang berada di sana, tapi kami belum ke sana.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengunjungi bangunan yang disebut Masjid Biru.”

Kunjungan Soekarno ke Rusia berjalan lancar dan seolah tidak pernah ada apapun yang terkait dengan masalah agama ataupun masjid. Soekarno juga tidak banyak membicarakan lagi tentang masjid yang pernah dilihatnya di kota terindah di Uni Soviet tersebut. Meskipun begitu, diam-diam banyak kalangan muslim memasang kuping atas berbagai kejadian yang dialami oleh tamu kehormatan dari Indonesia tersebut.
Seminggu setelah kunjungan usai, sebuah kabar gembira datang dari pusat kekuasaan, Kremlin di Moskow. Seorang petinggi pemerintah setempat mengabarkan bahwa satu-satunya masjid di Leningrad yang telah menjadi gudang pasca-revolusi Bolshevic tersebut bisa dibuka lagi untuk beribadah umat Islam, tanpa persyaratan apapun. Sang penyampai pesan juga tidak memberikan alasan secuil pun mengapa itu semua bisa terjadi.

“Umat Islam di St. Petersburg mengenal dengan baik Presiden Soekarno. Kita sangat berterima kasih kepada almarhum Soekarno. Kami akan ingat jasa-jasanya,” ujar Mufti Ja’far Nasibullah. Tanpa Soekarno, katanya, mungkin masjid indah ini sudah hancur sebagaimana masjid dan gereja lainnya.

Hingga kini, masjid yang didirikan pada tahun 1910-1921 itu masih berdiri megah. Dua menaranya menjulang setinggi 48 meter, sedangkan kubahnya yang dibalut keramik warna biru sangat gagah dengan ketinggian 39 meter. Tempat ibadah umat Islam yang diarsiteki oleh dua orang nasrani bernama Vaslilier dan Alexander Von Googen ini memang mirip dengan sebuah masjid di Samarkand, Asia Tengah. Meskipun sempat akan hancur kubahnya pada tahun 1980-an, namun berkat kebaikan hati beberapa pemimpin komunis era Uni Soviet dan pinjaman seseorang yang beragama Ortodoks, maka renovasi selama 18 tahun telah mengembalikan kemegahan rumah Allah di bumi utara tersebut.
“Sebagai muslim, saya harus jujur dan mengucapkan terima kasih bukan hanya kepada umat Islam yang senantiasa memakmurkan masjid ini. Tetapi juga kepada pemerintah pada masa komunis, pemerintah sekarang dan juga para donatur yang berbeda agama. Semoga Allah memberikan balasannya atas kebaikan mereka,” ungkap Ja’far.

Mercedes tua itu segera saya starter setelah bersalaman beberapa kali dengan Sang Mufti. Pelukannya yang hangat dan ciumannya yang ikhlas mengesankan ia telah bertemu dengan seorang “Soekarno” kecil. Saya pun jadi termangu, tidak bisa tidur dan selalu bertanya, “Kontribusi apa yang bisa saya berikan untuk muslim Rusia di masa keterbukaan ini?” []

SINAR ISLAM SEMAKIN CEMERLANG DI RUSIA


Oleh: M. Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku MPV, Jaring Pena 2010)

Berbagai umat beragama di Rusia kini sedang bergairah;
bangun dari tidur panjangnya.
Bukan sebuah basa-basi, bila sinar Islam juga makin cemerlang.


Sebagian masyarakat Indonesia masih terkooptasi oleh sebuah bayangan yang salah, bahwa Rusia adalah Uni Soviet. Rusia adalah ateis dan komunis. Tidak lebih dan tidak kurang. Padahal, bersamaan dengan gerakan pembaruan yang diawali oleh Mikhail Gorbachev tahun 1990-an, Rusia kini menjadi negara yang terbuka dan eksotik. Kegiatan religi makin marak, dan umat Islamnya makin bergairah.

Pasca-runtuhnya Uni Soviet, Islam memainkan peranan penting dalam perkembangan Rusia. Umat Islam terus berkembang menjadi salah satu sokoguru bagi Rusia secara keseluruhan. Bahkan bila ingin mengetahui politik Rusia secara utuh, mau tidak mau harus memahami pula perkembangan Islam kontemporer di Rusia dan peranannya dalam masyarakat. Benarkah Islam sedang bangkit di Rusia?

Memang tidak banyak orang Indonesia yang mengetahui bahwa umat Islam di Rusia merupakan kelompok kedua terbesar setelah penganut Ortodoksi (Pravoslaviya). Beberapa data dan pernyataan menyebutkan angka sampai 25 juta muslim dari 145-an juta penduduk Rusia. Hubungan antara umat Islam dan mayoritas Ortodoksi nampak cukup harmonis. Pemerintah sekarang juga memberikan keleluasaan bagi perkembangan kedua kelompok terbesar ini.

Berbeda dengan muslim Eropa, muslim Rusia mempunyai sejarah panjang yang dimulai di pertengahan abad ke-7. Dari 182 etnis di Rusia, 57 etnis mengikuti agama Islam dan hal ini membuat Islam sebagai unsur yang tidak dapat dipisahkan dari budaya dan sejarah Rusia. Muslim Rusia punya hubungan baik dengan agama-agama lain dan mereka tidak bersikap ekstrem. Itulah mengapa mereka menentang kelompok-kelompok seperti al-Qaeda dan Taliban karena mereka tidak menerima sikap kekerasan dan pemikiran fanatik.

Berangkat dari berbagai kenyataan itulah barangkali, saat bertemu dengan ulama Islam Rusia, Presiden Rusia Dmitry Medvedev menegaskan tentang pentingnya posisi umat Islam Rusia. Ia mengatakan, “Umat Islam Rusia di negara ini dihormati dan punya pengaruh. Lembaga-lembaga Islam punya peran penting dalam menyebarkan perdamaian dan menciptakan atmosfer spiritual dan perilaku baik di tengah-tengah masyarakat serta berjuang melawan sikap ekstrem.” Mantan Presiden Putin juga tidak segan mengucapkan “Selamat Idul Fitri” pada akhir bulan Ramadan.

Di Federasi Rusia, awal abad ke-21 adalah periode kebangkitan kembali rohani dan keagamaan, termasuk Islam. Mayoritas muslim Rusia adalah sunni. Terdapat dua mazhab di Rusia: mazhab Syafi’i di Kaukasus Utara dan mazhab Hanafi di wilayah negara lainnya. Dalam beberapa kawasan terdapat tradisi sufi, utamanya pada suku Chechen dan Azeri.

Bangunnya kembali Islam di Rusia dimulai dengan pembentukan berbagai organisasi Islam dan masjid sebagai tempat berkumpulnya umat. Muslim Rusia membentuk organisasi dan masjid untuk mengorganisir struktur, pengaturan, pendekatan yang efisien dan tertib untuk mencapai tujuan serta kerja kebangkitan Islam. Pendidikan adalah prioritas utama organisasi Islam Rusia. Mereka menyadari bahwa kebangkitan Islam tidak mungkin tanpa kebangkitan pendidikan Islam, karenanya sampai tahun 2009 tercatat telah berdiri 18 sekolah tinggi Islam hasil upaya mereka.

Menurut data register negara terdapat 3.345 organisasi keagamaan muslim di tingkat lokal. Jumlah yang terbesar dari organisasi keagamaan tersebut terdaftar di daerah Volga sebanyak 1.945, Kaukasus Utara mencapai 980, dan Ural mencapai 316 lembaga. Di beberapa kawasan lain pun bermunculan organisasi serupa meski jumlahnya lebih kecil.
Untuk jumlah masjid, yang tercatat resmi saat ini sebanyak 4.750 masjid. Kawasan yang paling banyak terdapat masjid adalah di Dagestan dengan jumlah 3.000-an masjid. Begitu pula di Tatarstan, yang dalam 10 tahun terakhir telah mencapai lebih dari 1.000 masjid. Sementara di ibukota Moskow, yang populasi muslimnya sekitar satu setengah juta jiwa, terdapat 20 komunitas Islam dan lima masjid besar. Pakar data Rusia memperkirakan, jumlah masjid seluruhnya dapat mencapai sedikitnya 7.000 masjid di Rusia.

Bukti konkret potensi kebangkitan yang dapat dilihat saat ini antara lain makin maraknya muslim Rusia yang mempelajari al-Quran, tingginya animo berangkat ke Tanah Suci untuk haji dan umrah, jamaah masjid yang meningkat untuk menghadiri salat atau acara religius lainnya, tingginya proposal untuk pembangunan masjid baru, meningkatnya proyek acara-acara Islam di radio dan program televisi, serta maraknya restorasi pemakaian bahasa Arab dalam kehidupan mereka.

Menurut catatan, lebih dari 32 ribu muslim Rusia telah menunaikan ibadah haji di tahun 2008. Jumlah itu mengalami peningkatan setelah sebelumnya hanya 26 ribu dan kemudian ditambah kuotanya oleh pemerintah Arab Saudi sebanyak 6 ribu akibat meningkatnya minat muslim Rusia pergi haji. Meski kondisi ekonomi mereka sulit tetapi kerinduan berat pergi ke Tanah Suci dapat menjadi bukti konkret makin menguatnya gelombang kebangkitan muslim Rusia.

Setiap minggu, TV pemerintah Rusia menayangkan program yang dinamakan “Muslim”. Program tersebut menceritakan mengenai tradisi, adat istiadat dan budaya pemeluk Islam di Rusia. Radio pemerintah juga mempunyai program serupa. Pada tahun 2003, dibentuk Persatuan Wartawan Muslim Rusia di bawah payung Mufti Rusia dan dukungan Persatuan Wartawan Rusia. Muslim Rusia juga aktif berpartisipasi dalam dialog antaragama yang diadakan pemerintah Rusia setahun sekali untuk membahas isu-isu aktual dan memecahkan isu-isu sensitif antarumat beragama.

Potensi kebangkitan lain adalah tingkat fertilitas muslim Rusia yang telah melampaui etnis Rusia. Misalnya, tingkat fertilitas Republik muslim di Kaukaus Utara, khususnya Chechnya, mempunyai jumlah penduduk muda yang termuda dalam struktur demografi masyarakat Rusia yang menua. Pada paruh pertama tahun 2007, tingkat kelahiran di Chechnya 26,4 per 1.000 orang, sementara di Rusia hanya 11,28 per 1.000 orang. Perbedaan 15,12 poin ini merupakan gap tingkat fertilitas etnis yang besar di Rusia. Untuk itu, masa depan Islam nampaknya akan menjadi perhatian serius bagi pemerintah Rusia dan menarik untuk dilihat bagaimana pemerintah Rusia menanggapi statistik faktual ini.

Dalam bulan puasa Ramadan di Masjid Prospek Mira Moskow tahun lalu, Mufti Besar Ravil Gainutdin menekankan pentingnya tradisi turun-temurun dialog antara muslim dengan pemeluk agama lain di Rusia. Ia juga menyatakan, “Rusia adalah tanah air kita bersama. Selaku muslim Rusia, kita berkewajiban untuk melindungi dan memperluas kekayaan spiritual yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita.” Subhanallah. []

MUSLIM RUSIA AKAN MENJADI MAYORITAS?

Oleh: M. Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku MPV, Jaring Pena 2010)

Jika ada kelahiran, adakah yang salah?
Jika ada kematian, adalah yang salah?
Jika ada ketimpangan demografi, adakah yang salah?
Kematian dan kehidupan bagi sebagian orang adalah sebuah misteri.


Tingginya tingkat kematian dan rendahnya kelahiran pada kelompok tertentu di Rusia dapat mendorong perubahan demografi. Ditengarai, tidak sampai satu generasi ke depan jumlah umat Islam di Rusia sudah menggungguli kelompok Kristen Ortodoks.
Sejak kedatangan saya di Rusia pertengahan tahun 2008, isu Islam akan menjadi mayoritas ini sering terdengar sayup-sayup di tengah-tengah perbincangan berbagai kelompok masyarakat. Hal ini tentu dikait-kaitkan dengan fakta rendahnya kelahiran di kalangan masyarakat suku Rusia, umumnya beragama Kristen Ortodoks, yang merupakan penduduk mayoritas di Rusia. Di negeri Beruang Putih ini, penduduk muslim hanya berjumlah sekitar 25 juta atau pada kisaran 20% dari penduduk keseluruhan.
Suatu ketika, seorang teman membisikkan ke telinga saya dengan mangatakan bahwa 50 tahun ke depan akan menjadi historical moment yang sangat menentukan perimbangan baru penduduk di Rusia. Meskipun terus terjadi peningkatan life expectancy sebagai dampak perbaikan tingkat kesehatan masyarakat, terdapat desas-desus telah terjadi penurunan jumlah penduduk Rusia secara keseluruhan nyaris 1 juta orang per tahun. Dengan demikian, bila kecenderungan ini terus berlanjut terdapat kemungkinan jumlah warga Rusia di masa-masa mendatang tidak mengalami kenaikan, namun sebaliknya, berkurang secara signifikan.

Secara umum dapat saya amati dari waktu ke waktu rendahnya kelahiran khususnya di kota besar Moskow. Sangat jarang saya mendapat kabar seorang teman telah melahirkan jabang bayi. Bahkan, dengan kenalan yang semakin banyak, dalam setahun terakhir ini rasanya saya baru sekali menghadiri syukuran kelahiran anak dari teman-teman Rusia. Yang umumnya saya lihat hanyalah, mereka masih berpacaran, berkeluarga tanpa momongan, atau punya satu anak dan itupun sudah lahir sebelum saya datang.

Uniknya, bagi mereka yang sudah menikah, kelihatannya satu anak saja dianggap sudah cukup. Keinginan untuk memiliki anak dalam jumlah jamak tidak nampak, yang bisa jadi terdorong cara berpikir praktis dan pragmatis. Maklum, dalam 5 tahun terakhir kota-kota besar di Rusia terus mengalami tingkat kemahalan biaya hidup yang luar biasa plus kebutuhan yang semakin kompleks. Moskow misalnya, tahun 2008 dibaptis oleh sebuah lembaga rating internasional sebagai kota termahal di dunia melebihi London dan New York. Untuk menginap di hotel kelas sedang di ibukota Rusia itu pelancong harus merogoh sakunya minimal 200 dolar per malam.

Ada juga beberapa gosip menyebutkan ada wanita Rusia yang menginginkan keturunan namun tidak terlalu berharap memiliki seorang suami yang tetap. Lagi-lagi menurut kawan saya, alasan utamanya karena mereka ingin memiliki anak yang dapat mengurusi dirinya saat ia tua nanti. Meskipun saya tidak percaya 100 persen, bila sinyalemen tersebut dianggap benar adanya, maka lembaga perkawinan bisa disimpulkan menjadi semakin berkurang signifikansinya. Wah bisa gawat nih!

Di sisi lain, terdengar juga sebuah berita bahwa rata-rata keluarga muslim di Rusia memiliki anak yang banyak. Adalah tidak aneh bila di kantong-kantong muslim tertentu, satu keluarga memiliki sampai 4 anak. Ini tentu sangat terkait dengan keyakinan agamanya serta sikap optimis dalam mengarungi kehidupan meskipun semakin hari semakin kompleks. “Kami sangat yakin bahwa anak-anak kami akan dapat hidup dengan baik bila mau berusaha keras dan pantang menyerah,” kata seorang kawan dari Kazan dengan muka serius.

Untuk memberikan gambaran bagaimana umat Islam di Rusia semakin banyak jumlahnya, tengoklah cerita seorang lawyer muslim kota Moskow di akhir musim dingin ini. Menurutnya, umat Islam di ibukota Rusia ini makin hari makin banyak dan kini diperkirakan lebih dari 2 juta orang jumlahnya. Pada salat hari raya Idul Fitri di sebuah masjid agung kota Moskow, masjid Prospek Mira misalnya, jamaahnya meluber sampai dekat stasiun metro yang bila jalan kaki dari masjid memerlukan waktu 10 menit. “Salat saat itu sudah seperti di Makkah ketika musim haji. Di jalan dan trotoar. Penuh sesak dan asal dapat tempat,” kenangnya.

Bisa jadi hal-hal itulah yang menyebabkan banyak ahli demografi Barat memberikan prediksi bahwa penduduk Rusia secara umum akan turun sepertiganya dalam kurun waktu setengah abad ke depan. Namun, minoritas muslim jumlahnya terus bertambah dan diperkirakan akan menjadi mayoritas dalam waktu yang tidak lama.

Beberapa laporan riset yang dilakukan oleh Graeme Smith dan diterbitkan oleh The Globe and Mail di Toronto menguatkan kenyataan di atas. Dalam observasinya di provinsi Ulyanivsk Oblast misalnya, terdapat kecenderungan penurunan jumlah penduduk secara keseluruhan, namun jumlah penduduk muslimnya khususnya yang berasal dari Tatar mengalami lonjakan mencapai 12%. Bahkan, pengamat asal Amerika bernama Paul Globe memperkirakan Rusia akan menjadi negara berpenduduk mayoritas muslim mengingat sejauh ini populasinya telah meningkat sebanyak 40%, dimana 2,5 juta hingga 3,5 juta diantaranya berada di Moskow.

Bedanya dengan di negara-negara Barat pada umumnya, muslim di Rusia tergolong penduduk asli, bukan kaum pendatang (imigran). Islam telah datang dan menyebar di Rusia sejak lama dan berkembang di wilayah Volga tengah pada abad ke-16 yang disyiarkan oleh kaum Tatar dan Turki. Kemudian pada abad 18 dan 19, Rusia menaklukkan wilayah-wilayah di bagian selatan yang berpenduduk muslim dan dijadikan bagian dari negaranya. Daerah itu dikenal dengan nama seperti Dagestan, Chechnya, dan Kaukasus Utara.

Meskipun demikian, ada juga ahli demografi yang tidak sepenuhnya sependapat bahwa pada kisaran tahun 2050 mendatang Rusia akan didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. Menurutnya, proyeksi itu agak berlebihan karena mengabaikan faktor asimiliasi dan kawin campur antara umat Islam dan mereka yang beragama Ortodoks. Asimimilasi dan kawin campur semacam ini kemungkinannya bisa tinggi mengingat kebanyakan umat Islam di Rusia masih pada taraf muallaf dan kurang mempraktikkan agamanya dengan baik, ditambah kondusifnya Rusia sebagai melting pot berbagai bangsa.
Yang jelas, dengan mengambil gambaran pada beberapa tahun terakhir dapat dipastikan akan ada perubahan demografi di Rusia yang cukup substansial walaupun belum bisa dipastikan jumlah umat Islam akan melebihi mayoritas suku Rusia. Yang mungkin akan terjadi adalah, umat Islam akan menjadi jauh lebih banyak dari yang ada saat ini sehingga terjadi perimbangan jumlah dengan kelompok mayoritas sekarang.

Saya tiba-tiba terbangun dari berbagai teori dan kembali melihat sebuah kenyataan sehari-hari: adanya kerukunan beragama yang ada di Rusia, khususnya antara umat Ortodoks dan Islam. Sejauh yang saya pahami, keduanya tampak relatif mampu menjaga diri dan berinteraksi secara proporsional, bahkan terkesan cukup dekat dalam berbagai aktivitas. Tidak kurang-kurang pemimpin pemerintah yang beragama Ortodoks juga mengucapkan selamat kepada umat Islam manakala merayakan Idul Fitri dan senantiasa menegaskan bahwa mereka yang beragama Islam adalah bagian dari sebuah bangsa besar dan negara yang bernama Rusia.

Bila demikian adanya, apalah gunanya beberapa pihak menghembus-hembuskan isu demografi yang dibumbui dengan teori clash of civilization. Para pembuat teori ini saya pikir sering lupa bahwa sangat banyak bangsa di dunia ini yang memiliki aneka suku dan agama dapat hidup rukun berdampingan karena adanya sikap nasionalisme dan kesadaran bernegara. Hal ini pula yang sebenarnya terjadi di Rusia saat ini terlepas dari banyak sedikitnya umat atau suku tertentu. Membangun kebersamaan dan keharmonisan jauh lebih bermakna bagi kehidupan bernegara dibanding memantik persoalan primordialisme yang mendorong pepecahan. []