Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

31 Maret 2011

MASJID BIRU DAN BERKAH SOEKARNO


Oleh: M. Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku MPV, Jaring Pena, 2010)

Masjid Biru St. Petersburg.
Simbol persaudaraan.
Simbol kepedulian.
Indonesia dan Rusia.


Komentar tegas Presiden Soekarno akhirnya membuat Kremlin Moskow mengizinkan umat Islam di Petersburg kembali diperbolehkan melaksanakan salat di negeri komunis ini. Sesuatu yang selalu ada dalam ingatan umat Islam St. Petersburg.
Bermimpi berkunjung ke masjid ini bagi muslim Indonesia yang sedang berada di Rusia, bukan sesuatu yang aneh apalagi salah. Berbagai cerita unik yang pernah dilansir di media massa maupun buku selalu memberikan tambahan semangat untuk berziarah ke masjid penuh sejarah tersebut. Inilah tempat yang terus menjadi tujuan ribuan pelancong yang datang dari tanah air.

Tanggal 5 Ramadan 1430 H, pukul 19.00, waktu setempat. Tiupan angin sejuk merasuk ke tubuh saat Mercedes yang saya tumpangi berhenti persis di depan masjid paling megah di kota ujung barat utara Rusia, St. Petersburg. Rasa lelah perjalanan panjang selama 9 jam dari kota Moskow seolah terobati dengan cuaca yang benar-benar bersahabat. Layaknya di surga, tidak terlalu panas tidak juga dingin. Sunggingan matahari sore itu menambah kemolekan kota yang dulu dikenal dengan sebutan Leningrad. Temperatur menunjuk pada angka 17 derajat Celsius.

St. Petersburg didirikan oleh Peter the Great pada abad 17. Kota yang senantiasa menjadi rebutan banyak negara dalam berbagai masa itu memang sangat cantik, berarsitektur ala Eropa Barat dan terletak di delta sungai Neva. Kota ini pernah menjadi ibukota kekaisaran Rusia selama 200 tahun. Di sini pula berdiri istana-istana terkenal, seperti istana musim panas Peterhof, istana musim dingin Hermitage, benteng Peter and Paul serta lanskap kota yang tidak kalah dengan kota mode Paris.
Diantara kelebihan kota ini adalah adanya sebuah masjid yang sering disebut The Blue Mosque atau Masjid Biru. Meski nama aslinya adalah Masjid Jam’ul Muslimin, orang lebih sering mengasosiasikannya dengan kubah dan gerbang warna biru nan cantik yang dimilikinya. Letaknya yang berada di jantung kota dan diantara berbagai obyek wisata utama, menjadikan masjid ini dikenal oleh siapapun.

Keunikan lain dari kota yang berbatasan dengan Finlandia tersebut karena memiliki musim panas yang sangat panjang. Pada minggu ketiga bulan Juli, mahahari dari sini bisa terlihat selama 24 jam selama dua hari. Inilah yang sering disebut dengan white night (malam putih). Sebuah fenomena alam yang digandrungi ratusan ribu pelancong untuk menikmatinya.

“Assalamu’alaikum. Vie iz Indonesiyi (Anda dari Indonesia)?” Seorang dengan wajah berkharisma dan berpakaian ala orang terhormat Arab menyapa dengan penuh hangat. “Kenalkan, saya Mufti Ja’far Nasibullah yang bertanggungjawab atas masjid ini selama 31 tahun terakhir. Silakan masuk ke rumah Allah,” lanjutnya sambil menjabat erat.
Dari tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, kulit yang sedikit berwarna serta wajah yang oval, mudah ditebak bahwa sang Mufti ini pastilah berasal dari kawasan selatan Rusia, wilayah yang banyak dihuni oleh mereka yang beragama Islam.
Memasuki masjid ini terasa sejuk di hati dan seolah berada di suatu tempat yang akrab dengan diri kita: tempat bersujud. Di atas pintu masuknya, sebuah kaligrafi berukuran sedang memberikan perintah berdasarkan ayat Tuhan: “Masuklah dengan damai dan aman.”

Setelah melewati ruang penerimaan, kita akan langsung masuk ke dalam masjid lantai pertama yang mampu menampung lebih dari dua ribuan jamaah. Kubah yang dari luar berwana biru, di dalamnya terdapat ukiran dan lukisan yang terpengaruh oleh budaya Arab dan menggantung di tengah-tengahnya lampu bulat besar bertatahkan kaligrafi buatan Rusia dengan berat lebih dari 2 ton.

Dari kejauhan terlihat mihrab yang agung berwarna biru terbuat dari ribuan marmer yang didesain khusus. Di tengah-tengahnya terdapat siluet berupa kaligrafi yang menegaskan pesan-pesan Tuhan tentang kebaikan dan kebijakan yang harus dianut oleh umatnya. Di sampingnya, terdapat mimbar khutbah dengan tangganya yang tinggi terbuat dari kayu yang sangat terawat. Pada saat khatib naik mimbar, ia akan memegang tongkat yang merupakan pengganti tombak pada zaman para sahabat Nabi.
Lantai dua dan tiga dipakai untuk salat jamaah wanita, sehingga tidak perlu sekat seperti yang ada di beberapa masjid. Uniknya, untuk bisa mengikuti salat berjamaah, para wanita hanya bisa melihat ke imam melalui dua jendela yang telah disiapkan. Melihat modelnya, jendela ini pastilah model Mesir seperti yang kita bisa lihat dalam film Ayat-Ayat Cinta-nya Hanung Bramantyo.

Pilar-pilar besar penyangga kubah dan lantai dua dan tiga dihiasi dengan aneka lukisan bunga yang lebih mirip budaya Rusia bagian selatan. Pembagian ruangan yang lega serta kebersihannya yang terjaga membuat para jamaah betah berzikir di dalamnya. Di bulan Ramadan tahun ini, jamaah salat tarawih tidak terlalu banyak atau hanya sekitar 300-an orang. Ini disebabkan puasa jatuh pada musim panas sehingga salat tarawih dilakukan hampir tengah malam sehingga banyak jamaah kesulitan mendapatkan transportasi umum pada saat pulang ke rumah.

Ada juga kaligrafi terbuat dari kayu berukuran sekitar satu kali dua meter yang terpajang di samping ruang imam salat. Tembakan dua lampu dari samping dan atas memberikan nuansa tersendiri atas tatahan indah surah al-Fatihah yang berada di tengah-tengah ukiran model Bali. “Yang satu ini memang hadiah dari Presiden Megawati Soekarnoputri,” ujar sang Mufti dengan bangga.

Mengenang Jasa Soekarno
Memang, hubungan antara masjid ini dengan mantan presiden pertama Indonesia, Soekarno, tidak bisa dipisahkan. Di negeri komunis Uni Soviet, nama Soekarno sangat dikenal. Bukan hanya dianggap sebagai teman dalam Perang Dingin melawan poros Barat, namun juga sebagai presiden muslim yang memberikan “berkah” bagi sebagian muslim di negeri Beruang Putih ini.

Menurut Ja’far Nasibullah, suatu hari di tahun 1955, Soekarno berkunjung ke St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad. Ia datang dan menikmati kota indah ini dengan putri kecilnya yang bernama Megawati Soekarnoputri.
Dari dalam mobil itu, Soekarno sekilas melihat sebuah bangunan yang unik dan tidak ada duanya. Sopir diminta memutar haluan untuk melihat bangunan tersebut. Namun, sang sopir tak menuruti permintaan orang nomor satu RI itu. Tidak ada perintah untuk memutar apalagi berhenti.

Pada zaman itu, di bawah pemerintahan komunis nyaris tidak ada kekuasaan dan kesempatan berdiskusi yang diberikan kepada seorang sopir. Dari pembicaraan dengan beberapa pihak, Soekarno akhirnya tahu bahwa gedung itu adalah sebuah masjid yang saat itu dijadikan gudang.

Dalam suatu pertemuan dengan pejabat setempat, Presiden melontarkan permintaan agar pada hari berikutnya diatur suatu kunjungan ke masjid yang dilihatnya. Namun, aturan protokoler tidak memungkinkan karena acara yang disusun sudah sangat padat. Dalam cerita lain menyebutkan Soekarno sempat mampir sekilas.

Setelah dua hari menikmati keindahan kota St. Petersburg yang saat itu masih bernama Leningrad, Soekarno terbang ke Moskow untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi guna membahas masa depan kerja sama bilateral dan berbagai posisi kunci dalam Perang Dingin yang terus memuncak. Dalam bincang-bincang di istana Kremlin itu sempat tersiar kabar suatu pembicaraan yang unik diantara kedua pemimpin bangsa.
“Bagaimana kunjungan ke Leningrad, Tuan Presiden. Tentu sangat menyenangkan, bukan?” tanya pemimpin Rusia saat itu.
Di luar dugaan, Soekarno memberikan jawaban yang mengagetkan.
“Rasanya saya belum pernah ke Leningrad,” ujar Soekarno.
“Tuan Presiden memang pandai bertutur. Ada apa yang salah dengan Leningrad? Bukannya kemarin dua hari berjalan-jalan dengan Sang Putri di sana?”
“Ya. Kami memang berada di sana, tapi kami belum ke sana.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kami tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengunjungi bangunan yang disebut Masjid Biru.”

Kunjungan Soekarno ke Rusia berjalan lancar dan seolah tidak pernah ada apapun yang terkait dengan masalah agama ataupun masjid. Soekarno juga tidak banyak membicarakan lagi tentang masjid yang pernah dilihatnya di kota terindah di Uni Soviet tersebut. Meskipun begitu, diam-diam banyak kalangan muslim memasang kuping atas berbagai kejadian yang dialami oleh tamu kehormatan dari Indonesia tersebut.
Seminggu setelah kunjungan usai, sebuah kabar gembira datang dari pusat kekuasaan, Kremlin di Moskow. Seorang petinggi pemerintah setempat mengabarkan bahwa satu-satunya masjid di Leningrad yang telah menjadi gudang pasca-revolusi Bolshevic tersebut bisa dibuka lagi untuk beribadah umat Islam, tanpa persyaratan apapun. Sang penyampai pesan juga tidak memberikan alasan secuil pun mengapa itu semua bisa terjadi.

“Umat Islam di St. Petersburg mengenal dengan baik Presiden Soekarno. Kita sangat berterima kasih kepada almarhum Soekarno. Kami akan ingat jasa-jasanya,” ujar Mufti Ja’far Nasibullah. Tanpa Soekarno, katanya, mungkin masjid indah ini sudah hancur sebagaimana masjid dan gereja lainnya.

Hingga kini, masjid yang didirikan pada tahun 1910-1921 itu masih berdiri megah. Dua menaranya menjulang setinggi 48 meter, sedangkan kubahnya yang dibalut keramik warna biru sangat gagah dengan ketinggian 39 meter. Tempat ibadah umat Islam yang diarsiteki oleh dua orang nasrani bernama Vaslilier dan Alexander Von Googen ini memang mirip dengan sebuah masjid di Samarkand, Asia Tengah. Meskipun sempat akan hancur kubahnya pada tahun 1980-an, namun berkat kebaikan hati beberapa pemimpin komunis era Uni Soviet dan pinjaman seseorang yang beragama Ortodoks, maka renovasi selama 18 tahun telah mengembalikan kemegahan rumah Allah di bumi utara tersebut.
“Sebagai muslim, saya harus jujur dan mengucapkan terima kasih bukan hanya kepada umat Islam yang senantiasa memakmurkan masjid ini. Tetapi juga kepada pemerintah pada masa komunis, pemerintah sekarang dan juga para donatur yang berbeda agama. Semoga Allah memberikan balasannya atas kebaikan mereka,” ungkap Ja’far.

Mercedes tua itu segera saya starter setelah bersalaman beberapa kali dengan Sang Mufti. Pelukannya yang hangat dan ciumannya yang ikhlas mengesankan ia telah bertemu dengan seorang “Soekarno” kecil. Saya pun jadi termangu, tidak bisa tidur dan selalu bertanya, “Kontribusi apa yang bisa saya berikan untuk muslim Rusia di masa keterbukaan ini?” []

0 Responses: