Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

31 Maret 2011

MUSLIM RUSIA AKAN MENJADI MAYORITAS?

Oleh: M. Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku MPV, Jaring Pena 2010)

Jika ada kelahiran, adakah yang salah?
Jika ada kematian, adalah yang salah?
Jika ada ketimpangan demografi, adakah yang salah?
Kematian dan kehidupan bagi sebagian orang adalah sebuah misteri.


Tingginya tingkat kematian dan rendahnya kelahiran pada kelompok tertentu di Rusia dapat mendorong perubahan demografi. Ditengarai, tidak sampai satu generasi ke depan jumlah umat Islam di Rusia sudah menggungguli kelompok Kristen Ortodoks.
Sejak kedatangan saya di Rusia pertengahan tahun 2008, isu Islam akan menjadi mayoritas ini sering terdengar sayup-sayup di tengah-tengah perbincangan berbagai kelompok masyarakat. Hal ini tentu dikait-kaitkan dengan fakta rendahnya kelahiran di kalangan masyarakat suku Rusia, umumnya beragama Kristen Ortodoks, yang merupakan penduduk mayoritas di Rusia. Di negeri Beruang Putih ini, penduduk muslim hanya berjumlah sekitar 25 juta atau pada kisaran 20% dari penduduk keseluruhan.
Suatu ketika, seorang teman membisikkan ke telinga saya dengan mangatakan bahwa 50 tahun ke depan akan menjadi historical moment yang sangat menentukan perimbangan baru penduduk di Rusia. Meskipun terus terjadi peningkatan life expectancy sebagai dampak perbaikan tingkat kesehatan masyarakat, terdapat desas-desus telah terjadi penurunan jumlah penduduk Rusia secara keseluruhan nyaris 1 juta orang per tahun. Dengan demikian, bila kecenderungan ini terus berlanjut terdapat kemungkinan jumlah warga Rusia di masa-masa mendatang tidak mengalami kenaikan, namun sebaliknya, berkurang secara signifikan.

Secara umum dapat saya amati dari waktu ke waktu rendahnya kelahiran khususnya di kota besar Moskow. Sangat jarang saya mendapat kabar seorang teman telah melahirkan jabang bayi. Bahkan, dengan kenalan yang semakin banyak, dalam setahun terakhir ini rasanya saya baru sekali menghadiri syukuran kelahiran anak dari teman-teman Rusia. Yang umumnya saya lihat hanyalah, mereka masih berpacaran, berkeluarga tanpa momongan, atau punya satu anak dan itupun sudah lahir sebelum saya datang.

Uniknya, bagi mereka yang sudah menikah, kelihatannya satu anak saja dianggap sudah cukup. Keinginan untuk memiliki anak dalam jumlah jamak tidak nampak, yang bisa jadi terdorong cara berpikir praktis dan pragmatis. Maklum, dalam 5 tahun terakhir kota-kota besar di Rusia terus mengalami tingkat kemahalan biaya hidup yang luar biasa plus kebutuhan yang semakin kompleks. Moskow misalnya, tahun 2008 dibaptis oleh sebuah lembaga rating internasional sebagai kota termahal di dunia melebihi London dan New York. Untuk menginap di hotel kelas sedang di ibukota Rusia itu pelancong harus merogoh sakunya minimal 200 dolar per malam.

Ada juga beberapa gosip menyebutkan ada wanita Rusia yang menginginkan keturunan namun tidak terlalu berharap memiliki seorang suami yang tetap. Lagi-lagi menurut kawan saya, alasan utamanya karena mereka ingin memiliki anak yang dapat mengurusi dirinya saat ia tua nanti. Meskipun saya tidak percaya 100 persen, bila sinyalemen tersebut dianggap benar adanya, maka lembaga perkawinan bisa disimpulkan menjadi semakin berkurang signifikansinya. Wah bisa gawat nih!

Di sisi lain, terdengar juga sebuah berita bahwa rata-rata keluarga muslim di Rusia memiliki anak yang banyak. Adalah tidak aneh bila di kantong-kantong muslim tertentu, satu keluarga memiliki sampai 4 anak. Ini tentu sangat terkait dengan keyakinan agamanya serta sikap optimis dalam mengarungi kehidupan meskipun semakin hari semakin kompleks. “Kami sangat yakin bahwa anak-anak kami akan dapat hidup dengan baik bila mau berusaha keras dan pantang menyerah,” kata seorang kawan dari Kazan dengan muka serius.

Untuk memberikan gambaran bagaimana umat Islam di Rusia semakin banyak jumlahnya, tengoklah cerita seorang lawyer muslim kota Moskow di akhir musim dingin ini. Menurutnya, umat Islam di ibukota Rusia ini makin hari makin banyak dan kini diperkirakan lebih dari 2 juta orang jumlahnya. Pada salat hari raya Idul Fitri di sebuah masjid agung kota Moskow, masjid Prospek Mira misalnya, jamaahnya meluber sampai dekat stasiun metro yang bila jalan kaki dari masjid memerlukan waktu 10 menit. “Salat saat itu sudah seperti di Makkah ketika musim haji. Di jalan dan trotoar. Penuh sesak dan asal dapat tempat,” kenangnya.

Bisa jadi hal-hal itulah yang menyebabkan banyak ahli demografi Barat memberikan prediksi bahwa penduduk Rusia secara umum akan turun sepertiganya dalam kurun waktu setengah abad ke depan. Namun, minoritas muslim jumlahnya terus bertambah dan diperkirakan akan menjadi mayoritas dalam waktu yang tidak lama.

Beberapa laporan riset yang dilakukan oleh Graeme Smith dan diterbitkan oleh The Globe and Mail di Toronto menguatkan kenyataan di atas. Dalam observasinya di provinsi Ulyanivsk Oblast misalnya, terdapat kecenderungan penurunan jumlah penduduk secara keseluruhan, namun jumlah penduduk muslimnya khususnya yang berasal dari Tatar mengalami lonjakan mencapai 12%. Bahkan, pengamat asal Amerika bernama Paul Globe memperkirakan Rusia akan menjadi negara berpenduduk mayoritas muslim mengingat sejauh ini populasinya telah meningkat sebanyak 40%, dimana 2,5 juta hingga 3,5 juta diantaranya berada di Moskow.

Bedanya dengan di negara-negara Barat pada umumnya, muslim di Rusia tergolong penduduk asli, bukan kaum pendatang (imigran). Islam telah datang dan menyebar di Rusia sejak lama dan berkembang di wilayah Volga tengah pada abad ke-16 yang disyiarkan oleh kaum Tatar dan Turki. Kemudian pada abad 18 dan 19, Rusia menaklukkan wilayah-wilayah di bagian selatan yang berpenduduk muslim dan dijadikan bagian dari negaranya. Daerah itu dikenal dengan nama seperti Dagestan, Chechnya, dan Kaukasus Utara.

Meskipun demikian, ada juga ahli demografi yang tidak sepenuhnya sependapat bahwa pada kisaran tahun 2050 mendatang Rusia akan didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. Menurutnya, proyeksi itu agak berlebihan karena mengabaikan faktor asimiliasi dan kawin campur antara umat Islam dan mereka yang beragama Ortodoks. Asimimilasi dan kawin campur semacam ini kemungkinannya bisa tinggi mengingat kebanyakan umat Islam di Rusia masih pada taraf muallaf dan kurang mempraktikkan agamanya dengan baik, ditambah kondusifnya Rusia sebagai melting pot berbagai bangsa.
Yang jelas, dengan mengambil gambaran pada beberapa tahun terakhir dapat dipastikan akan ada perubahan demografi di Rusia yang cukup substansial walaupun belum bisa dipastikan jumlah umat Islam akan melebihi mayoritas suku Rusia. Yang mungkin akan terjadi adalah, umat Islam akan menjadi jauh lebih banyak dari yang ada saat ini sehingga terjadi perimbangan jumlah dengan kelompok mayoritas sekarang.

Saya tiba-tiba terbangun dari berbagai teori dan kembali melihat sebuah kenyataan sehari-hari: adanya kerukunan beragama yang ada di Rusia, khususnya antara umat Ortodoks dan Islam. Sejauh yang saya pahami, keduanya tampak relatif mampu menjaga diri dan berinteraksi secara proporsional, bahkan terkesan cukup dekat dalam berbagai aktivitas. Tidak kurang-kurang pemimpin pemerintah yang beragama Ortodoks juga mengucapkan selamat kepada umat Islam manakala merayakan Idul Fitri dan senantiasa menegaskan bahwa mereka yang beragama Islam adalah bagian dari sebuah bangsa besar dan negara yang bernama Rusia.

Bila demikian adanya, apalah gunanya beberapa pihak menghembus-hembuskan isu demografi yang dibumbui dengan teori clash of civilization. Para pembuat teori ini saya pikir sering lupa bahwa sangat banyak bangsa di dunia ini yang memiliki aneka suku dan agama dapat hidup rukun berdampingan karena adanya sikap nasionalisme dan kesadaran bernegara. Hal ini pula yang sebenarnya terjadi di Rusia saat ini terlepas dari banyak sedikitnya umat atau suku tertentu. Membangun kebersamaan dan keharmonisan jauh lebih bermakna bagi kehidupan bernegara dibanding memantik persoalan primordialisme yang mendorong pepecahan. []

0 Responses: