Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

30 April 2011

Nyantri di Rusia



Oleh: M Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku Seruling Diplomat, 2010)

Saat datang pertama kali di pesantren, jantung santri baru biasanya berdegub keras. Kehidupan yang dihadapi serasa gres semua. Jauh berbeda dengan dunia rumah yang biasa dikenal. Mengalami culture shock alias gegar budaya meski hanya berada ratusan kilometer dari rumah. Walau masih dalam satu pulau. Meski sama-sama satu iman.

Itu semua karena dunia pesantren memang lain. Merupakan boarding school yang mengedepankan kemandirian dan mengajarkan problem solving. Kehidupan bersama yang tercipta diibaratkan sebuah tim sepakbola yang harus saling membahu dan membantu untuk mencapai tujuan bersama. Segala kesulitan hidup dinisbahkan sebagai tantangan dan batu ujian. Tidak ada kata mengeluh dan cengeng, atau menurut istilah almarhum KH Hammam Ja’far dari Pesantren Pabelan: sifat plentung pes alias hangat-hangat tahi ayam.

Karenanya, jangan heran para santri bisa tidur 30 orang dalam satu kamar, mandi berdua dalam satu waktu dan ruang yang sama, serta makan bertiga dalam satu piring. Bahkan bila kamar kecil yang sederhana dan jumlahnya terbatas itu sedang penuh, maka harus bisa ber-pupria di aliran sungai yang deras samping desa. Semua itu akan mendewasakan kita, demikian Sang Kyai selalu memberikan alibinya. Bangun sebelum beduk subuh ditabuh dan tidur menjelang pagi datang. Itu juga akan membuat santri menjadi manusia yang disiplin, suatu karakter yang konon waktu itu hanya dimiliki oleh kelompok militer.

Tiba-tiba saja kenangan pesantren itu menyeruak di kepala ini saat menjemput delapan mahasiswa Indonesia penerima beasiswa Rusia di Domodedovo International Airport, 45 km luar kota Moskow, September 2008. Wajah mereka segar-segar meski telah menempuh perjalanan panjang Jakarta-Doha-Moskow. Semangat belajar pun tampak jelas dari aura yang terpancar dari anak-anak muda lulusan SMA itu. Semua mengisyaratkan bahwa yang ada di hadapan mereka serbamudah, kecuali belajar itu sendiri.

Sejurus kemudian ada briefing oleh mahasiswa Indonesia yang lebih dulu datang maupun dari kantor perwakilan Pemerintah RI di Moskow. Pertemuan pagi buta dengan suhu 5 derajat Celsius di pojokan bandara ini memang tidak main-main. Sebuah penataran singkat bagi peningkatan kekuatan mental dan aktivitas brain washing bagi mereka yang sedang bermimpi memasuki wilayah yang sama dengan Amerika Serikat, Australia, Kanada ataupun Eropa Barat. Beberapa arahan singkat berbunyi: Alle anfange immer schwer (semua yang baru selalu sulit) dan ajakan memahami makna sabda Nabi Muhammad “Uthlubul ’ilm walau bissīn” (tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China) yang saat itu memang dalam keadaan serbasusah. Siap-siap masuk kawah Condradimuka.

Petuah itu meluncur karena di Rusia ini perbedaan antara idealita dan realita terkadang sama dengan gap baina samā’ wal ardh, antara langit dan bumi. Bagaimana tidak, anak muda itu datang di sebuah kota di luar negeri dengan tiket dari kantong orang tua yang pas-pasan, tanpa pernah tahu ke mana ia harus belajar. Mereka baru tahu persis kota dan universitasnya manakala kakinya menginjak airport Domodedovo. Tak bisa disangkal bahwa orang tua yang melepas di Jakarta pun hanya bisa membekali dengan tumpukan doa dan tangis perpisahan. Dan benar saja, ternyata ada satu di antara kedelapan mahasiswa itu harus menjadi pionir ke sebuah kota yang masih asing di telinga masyarakat Indonesia.

Banyak yang tidak menyadari bahwa beasiswa ke Rusia ibarat tiket santri di “Pondok Pesantren” Federal Republik Rusia. Jangan pernah samakan apa yang akan diterima secara materiil dengan mahasiswa kita di Paris atau di Melbourne. Pemerintah Rusia sejak awal secara gamblang hanya menjanjikan pembebasan uang kuliah serta sekitar 1500-an rubel (50 dolar) uang saku. Berarti orang tua sejak awal harus ’ainul yaqīn akan nombok pada kisaran 200-an dolar sebulan, tergantung model kehidupan apa yang dipilih. Tanpa itu, sang anak pasti akan menghadapi ujian berat dalam hidup keseharian sekaligus terganggu aktivitas belajarnya.

Tidak hanya itu, berbagai fasilitas yang tersedia di universitas kadang juga minim. Sesuai dengan harganya, maka banyak pondokan yang masih bersifat komunal warisan zaman komunis. Itulah keterbatasan yang akan menjadi tantangan mahasiswa baru. Mulai dari aspek estetika, norma hingga urusan kebersihan. Gaya kehidupan pesantren salaf pun kadang menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Bagi mereka yang bersifat plentung pes, jangan harap bisa bertahan. Tidak heran ada cerita seorang bapak mengantarkan anaknya ke Rusia, tidak sampai satu bulan keduanya bersalaman: sepakat untuk pulang ke tanah air. Hahaha.... Menggelikan sekaligus menggelisahkan.


Transisi dan Metamorfosis

Rusia sekarang hakikatnya masih dalam masa transisi, dari suatu masyarakat komunal berlandaskan komunisme menjadi masyarakat individualis berdasarkan demokrasi dan kebebasan. Perubahan yang terjadi sangat cepat seiring dengan perubahan norma-norma yang berlaku. Kepemilikan yang dahulu tabu, misalnya, kini menjadi jamak. Orang kaya terus menjamur, sedangkan kaum papa juga seabrek jumlahnya.
Lupakan saja istilah lama: sama rata sama rasa. Buktinya, lebih dari 80 persen mobil di jalanan Moskow adalah mobil baru dari Eropa Barat, Jepang, dan Korea yang dengan mudah didapatkan melalui skema kredit. Dan tahun ini, Moskow pun sudah dibaptis menjadi kota termahal di dunia. Wow... keren!

Sesuai dengan namanya, masa transisi adalah masa gonjang-ganjing, suatu masa yang tidak jelas juntrungnya. Di bidang ekonomi, misalnya, antara penawaran dan permintaan pasar kadang tidak menemukan titik equilibriumnya. Pemilik apartemen bisa saja tiba-tiba minta kenaikan harga sewa bulanan sekian ribu dolar yang menurut kalangan umum tidak masuk akal. Namun, mereka tetap berprinsip just take it or leave it. Di negeri Beruang Merah ini, pembeli bukan raja. Penjual masih menjadi raja yang kadang kurang ramah.

Putaran transisi juga dialami berbagai sektor kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Pelayanan kepada para penerima beasiswa relatif masih dalam tataran konsep “tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah”, terlepas seberapa besar rubel yang menetes. Meskipun pada dasarnya, orang tua mahasiswa juga harus merogoh kocek dalam-dalam lalu melakukan pengiriman devisanya setiap bulan dalam jumlah yang tidak sedikit. Dosen bergaji minim dan mahasiswa asing dilarang bekerja. Dus, konsep tersebut sering terimplementasi di kehidupan akademis sehari-hari dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Uniknya, kini berbagai universitas di Rusia menjadi semacam sarang tawon yang dipenuhi lebah. Ratusan mahasiswa asing dari Eropa Barat maupun Asia seperti China, Korea dan Vietnam, terus membanjiri aneka kursus bahasa Rusia di berbagai universitas setiap tahun. Tidak kurang-kurang, ribuan mahasiswa Malaysia kini sedang nyantri di Moskow, St. Petersburg, dan kota besar lainnya. Bahkan konon kabarnya, mahasiswa saudara serumpun kita ini mendapatkan gelontoran dolar dari pemerintahnya lebih dari 500 dolar per bulan. Jumlah yang relatif cukup mewah untuk ukuran mahasiswa.

Ini semua pada galibnya memberikan beberapa sinyal yang mesti diperhitungkan. Pertama, meskipun beasiswa yang diberikan Pemerintah Rusia rendah plus servis serba pas-pasan, tetapi tombokan secara keseluruhan masih jauh lebih murah dibanding kuliah di Australia, misalnya. Kedua, ekonomi Rusia yang sedang booming serta geliat hegemoni politik internasionalnya merupakan kesempatan yang harus diantisipasi oleh siapapun sejak dini. Ketiga, terdapat beberapa universitas di Rusia memang memiliki reputasi internasional.

Kini, Pemerintah Rusia sedang melaju kencang untuk menyulap model dan sistem pendidikannya agar menyamai Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pada saatnya, bila tangan dingin Presiden Medvedev berhasil membereskan urusan pendidikan ini dalam hitungan dua-tiga tahun ke depan, bisa-bisa kuliah di Rusia menjadi sangat eksklusif dan sulit dijangkau. Sebelum metamorfosa itu terwujud, apa boleh buat, mahasiswa Indonesia yang berjumlah 100-an saat ini masih harus mempertahankan hidupnya ala santri pondok pesantren: bermental baja dengan sarana yang bersahaja. []

Catatan tentang pendidikan Rusia.
Moskow, akhir tahun 2008

0 Responses: