Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

30 April 2011

KAZAN; Kota Santri di Rusia



Oleh: M Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku Vodka, Cinta, dan Bunga, 2009)

Islam berkembang pesat, di bawah Putin dan Medvedev.
Jadilah Kazan kota santri Rusia.
Indah dan bersahabat.

Persahababatan yang baik terbangun dari kepercayaan dari waktu ke waktu. Namun tidak demikian dengan teman-teman di Kazan. Sekali kenal, langsung jadi saudara. Ke manapun kita pergi, selalu bersama. Inilah ciri kota santri di Rusia.

Memang mudah sekali dirasakan dalam sanubari. Kazan yang berada di bagian tengah barat Rusia ini masyarakatnya mirip dengan Indonesia. Pengalaman ini diamini oleh banyak orang yang pernah ke sana. Perangai yang dimiliki sangat lain dengan orang Rusia pada umumnya. Meski pernah tertekan di masa kejayaan komunis, mereka sampai sekarang masih bisa mengobral senyum. Bahkan, banyak yang mensinyalir bahwa mereka memiliki etos kerja yang unik dan akan mudah menggapai kemajuan.

Sebenarnya posisi kota Kazan tidak jauh dari Moskow. Pada kisaran 950 km, atau maksimal 1,5 jam penerbangan dari Moskow ke arah selatan timur. Bagi pelancong yang tidak punya waktu terlalu banyak, bisa pulang balik dalam sehari. Berangkat pagi pukul tujuh dan kembali ke Moskow pada sore atau malam hari. Bila datang pada musim panas, waktu segitu sudah lumayan melihat kota Kazan.

Bagi saya pribadi, Kazan mengingatkan saya akan keramahan masyarakat Indonesia. Sungguh, dua kali berkunjung ke sana, seolah kami baru saja bolak-balik ke Indonesia. Di sini sangat mudah mendengar azan, sesuatu yang aneh di manapun di Rusia atau Amerika sekalipun. Naik mobil dalam setengah jam di dalam kota, puluhan masjid dapat kita lihat. Bahkan banyak lelakinya memakai kopiah ala Arab dan wanitanya berjilbab seperti di Indonesia. “Assalamualaikum,” demikian sapaan itu terdengar di banyak tempat.

Harap maklum saja, penghuni kota ini separuhnya beragama Islam, atau pada kisaran 2 juta orang. Mereka mengaku pertama kali mendapatkan sinaran agama Islam dari utusan penguasa Islam dari Baghdad (zaman sahabat Nabi Muhammad) pada abad ke-7 Masehi manakala Kazan masih menjadi bagian dari wilayah Bulgaria. Sejak saat itu, agama ini berkembang cepat dan mendapatkan tempat yang baik di hati rakyat.

Sama seperti nasib agama lainnya, pada masa komunis yang nyaris 80 tahun itu, perkembangan agama Islam mendapatkan hambatan yang sangat serius. Hampir semua masjid dipusokan dan dijadikan gudang ataupun gardu jaga. Apalagi dakwah dan pengajaran Islam. Sesuatu yang sangat diharamkan. Hanya satu masjid saja di tengah kota yang dibiarkan berdiri dan berdampingan dengan gereja Kristen Ortodoks.
Uniknya, setelah komunis tumbang dan menjadi bagian dari Rusia yang terbuka dan maju, maka masyarakat muslim di sini seperti bangkit dari tidur panjangnya. Mereka kembali membangun tempat ibadahnya dan institusi keagamaannya dengan sangat cepat di bawah seorang Mufti (pemimpin agama Islam tertinggi di negara bagian) yang berwibawa. “Dengan bangga dapat saya informasikan bahwa hampir setiap minggu kami selalu meresmikan satu masjid,” ujar Rustam Gataulin, ketua organisasi layanan haji, pertengahan tahun 2009.

Mufti Iskhakov malah menyebut bahwa Republik Tatarstan yang dengan ibukotanya Kazan merupakan pusat peradaban Islam pada wilayah Euroasia. Kini tidak kurang 1.200 masjid telah kembali berdiri dan menjadi semacam organisasi yang mendorong kemajuan masyarakat di berbagai bidang. Di wilayah ini pula aneka helikopter canggih Rusia diproduksi dan petenis dunia Marat Safin dilahirkan.

Tidak hanya itu, jumlah calon haji setiap tahun terus bertambah. Kalau 5 tahun lalu hanya pada kisaran 1.000-an jamaah, maka kini telah lebih dari 3.000 orang per tahun. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah sehingga diperlukan suatu organisasi yang matang dan baik. “Saya selalu melihat jamaah haji Indonesia teratur saat di Tanah Suci. Kita ingin belajar bagaimana mengorganisasikan seperti itu,” lanjut Rustam. Dari perbincangan dengan Rustam dan Mufti sendiri, akhirnya kita sepakat untuk membuat pelatihan jamaah haji dengan mendatangkan instruktur dari Depag dan swasta yang mengorganisasi ONH Plus.

Di kota ini pula ada universitas Islam yang diberi nama Universitas Islam Rusia. Perguruan tinggi ini mirip sekali dengan IAIN di Indonesia. Seluruh pelajarannya melulu mengenai keislaman dan belum menyentuh masalah lainnya. Jumlah mahasiswanya juga masih dalam hitungan ratusan dengan dosen yang masih muda-muda.
Rektor Universitas Islam Rusia, Muhamedsin terkagum-kagum pada suatu saat saya ajak ke Indonesia untuk melihat Islam di negeri kita. Ia memang mengenal Indonesia dari banyak buku, tetapi rupanya jauh lebih menarik datang langsung. Dikatakannya, Islam datang ke Rusia dan Indonesia itu sama, yakni datang melalui jalan damai alias perdagangan. Konsekuensinya, Islam berkembang namun adat istiadat setempat tidak hilang. “Kita ingin mempelajari konsep toleransi dari negerimu,” akunya.

Muhamedsin mengaku terkesan dengan UIN Jakarta, Jogjakarta dan Malang yang sempat ia kunjungi. Namun kesan terdalam adalah dengan UIN Malang yang memberikan landasan kepada semua mahasiswanya bahasa Arab dan pelajaran agama pada tahun pertama. Karenanya, ia sudah teguh akan mengirimkan dosen-dosennya untuk belajar di Indonesia.
Menurut penuturan banyak pihak, pendidikan Islam di Tatarstan tetap berlangsung meskipun di masa komunis. Mereka melakukan dakwah minimal kepada anggota keluarga. Dan bila lebih dari itu, maka diperlukan suatu aktivitas bawah tanah yang rapi. Itulah sebabnya Islam tetap hidup dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Meskipun begitu, pendidikan agama mereka tetap ketinggalan bila dibandingkan banyak negara karena larangan beraktivitas religi selama satu generasi.

Kota Kazan adalah ibukota dari negara bagian Rusia yang dikenal dengan Tatarstan. Berdasarkan penuturan masyarakat, telah terjadi semacam salah persepsi dalam batas-batas tertentu sehingga mereka ini dimasukkan dalam suku Tatar. “Sebagian kita adalah anak turun dari bangsa Eropa Timur (Bulgaria) yang telah migrasi ke sini jauh sebelum Islam masuk. Lihatlah wajah kami berbeda, baik dengan orang Rusia maupun Cina,” kata pemandu saya dalam bahasa Inggris yang fasih.

Kota santri ini memiliki landskap yang unik dan menarik. Meskipun tidak di gunung, namun Kazan berada di atas bukit dengan pemandangan danau di bawahnya. Persis di pinggir danau, terdapat beberapa monumen besar: masjid agung Kul-Syarif, sebuah gereja kuno, kremlin (benteng kota) serta makam syuhada. Masjid Kul-Syarif termasuk terbesar di Eropa ini memiliki arsitektur yang unik dengan banyak menara yang tinggi, yang barangkali terpengaruh oleh Masjid Biru di Istanbul, Turki. Meskipun mencorong, masjid tidak mengalahkan bangunan di sekitarnya. Semua tampak rukun dan berdiri dengan kepribadian masing-masing.

Sebagaimana di kota Moskow, inilah pusat kota yang memiliki keindahan luar biasa. Di sini, para pelancong wajib kunjung sebagaimana banyak pengantin pada datang untuk mengambil foto. Aneka souvenir juga dijual dimana-mana dengan harga miring. Tidak heran, tempat ini selalu saja ramai pengunjung, khususnya di musim panas. Mereka bisa duduk menikmati indahnya danau di samping masjid, katedral, dan kremlin beserta para pengantin yang berbahagia.

Seorang teman saya yang beragama Kristen sempat dibuat kagum. Saat berkunjung ke Kazan pada bulan Ramadhan, ia dipersilakan menunggu rekannya yang sedang salat tarawih di dalam masjid agung Kul-Syarif. Sambil duduk bersila, ia terkantuk-kantuk di dalam masjid. “Eh…begitu saya terbangun, sudah ada kue dan minuman di hadapan saya. Luar biasa,” ujarnya dengan mata berbinar.
Jujur saja, menurut pendapat pribadi saya, Lapangan Merah di Moskow sangat menarik, namun lingkungan Kremlin Kazan dan masyarakatnya, jauh lebih mengesankan. Maafkan saya. []

Nyantri di Rusia



Oleh: M Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku Seruling Diplomat, 2010)

Saat datang pertama kali di pesantren, jantung santri baru biasanya berdegub keras. Kehidupan yang dihadapi serasa gres semua. Jauh berbeda dengan dunia rumah yang biasa dikenal. Mengalami culture shock alias gegar budaya meski hanya berada ratusan kilometer dari rumah. Walau masih dalam satu pulau. Meski sama-sama satu iman.

Itu semua karena dunia pesantren memang lain. Merupakan boarding school yang mengedepankan kemandirian dan mengajarkan problem solving. Kehidupan bersama yang tercipta diibaratkan sebuah tim sepakbola yang harus saling membahu dan membantu untuk mencapai tujuan bersama. Segala kesulitan hidup dinisbahkan sebagai tantangan dan batu ujian. Tidak ada kata mengeluh dan cengeng, atau menurut istilah almarhum KH Hammam Ja’far dari Pesantren Pabelan: sifat plentung pes alias hangat-hangat tahi ayam.

Karenanya, jangan heran para santri bisa tidur 30 orang dalam satu kamar, mandi berdua dalam satu waktu dan ruang yang sama, serta makan bertiga dalam satu piring. Bahkan bila kamar kecil yang sederhana dan jumlahnya terbatas itu sedang penuh, maka harus bisa ber-pupria di aliran sungai yang deras samping desa. Semua itu akan mendewasakan kita, demikian Sang Kyai selalu memberikan alibinya. Bangun sebelum beduk subuh ditabuh dan tidur menjelang pagi datang. Itu juga akan membuat santri menjadi manusia yang disiplin, suatu karakter yang konon waktu itu hanya dimiliki oleh kelompok militer.

Tiba-tiba saja kenangan pesantren itu menyeruak di kepala ini saat menjemput delapan mahasiswa Indonesia penerima beasiswa Rusia di Domodedovo International Airport, 45 km luar kota Moskow, September 2008. Wajah mereka segar-segar meski telah menempuh perjalanan panjang Jakarta-Doha-Moskow. Semangat belajar pun tampak jelas dari aura yang terpancar dari anak-anak muda lulusan SMA itu. Semua mengisyaratkan bahwa yang ada di hadapan mereka serbamudah, kecuali belajar itu sendiri.

Sejurus kemudian ada briefing oleh mahasiswa Indonesia yang lebih dulu datang maupun dari kantor perwakilan Pemerintah RI di Moskow. Pertemuan pagi buta dengan suhu 5 derajat Celsius di pojokan bandara ini memang tidak main-main. Sebuah penataran singkat bagi peningkatan kekuatan mental dan aktivitas brain washing bagi mereka yang sedang bermimpi memasuki wilayah yang sama dengan Amerika Serikat, Australia, Kanada ataupun Eropa Barat. Beberapa arahan singkat berbunyi: Alle anfange immer schwer (semua yang baru selalu sulit) dan ajakan memahami makna sabda Nabi Muhammad “Uthlubul ’ilm walau bissīn” (tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China) yang saat itu memang dalam keadaan serbasusah. Siap-siap masuk kawah Condradimuka.

Petuah itu meluncur karena di Rusia ini perbedaan antara idealita dan realita terkadang sama dengan gap baina samā’ wal ardh, antara langit dan bumi. Bagaimana tidak, anak muda itu datang di sebuah kota di luar negeri dengan tiket dari kantong orang tua yang pas-pasan, tanpa pernah tahu ke mana ia harus belajar. Mereka baru tahu persis kota dan universitasnya manakala kakinya menginjak airport Domodedovo. Tak bisa disangkal bahwa orang tua yang melepas di Jakarta pun hanya bisa membekali dengan tumpukan doa dan tangis perpisahan. Dan benar saja, ternyata ada satu di antara kedelapan mahasiswa itu harus menjadi pionir ke sebuah kota yang masih asing di telinga masyarakat Indonesia.

Banyak yang tidak menyadari bahwa beasiswa ke Rusia ibarat tiket santri di “Pondok Pesantren” Federal Republik Rusia. Jangan pernah samakan apa yang akan diterima secara materiil dengan mahasiswa kita di Paris atau di Melbourne. Pemerintah Rusia sejak awal secara gamblang hanya menjanjikan pembebasan uang kuliah serta sekitar 1500-an rubel (50 dolar) uang saku. Berarti orang tua sejak awal harus ’ainul yaqīn akan nombok pada kisaran 200-an dolar sebulan, tergantung model kehidupan apa yang dipilih. Tanpa itu, sang anak pasti akan menghadapi ujian berat dalam hidup keseharian sekaligus terganggu aktivitas belajarnya.

Tidak hanya itu, berbagai fasilitas yang tersedia di universitas kadang juga minim. Sesuai dengan harganya, maka banyak pondokan yang masih bersifat komunal warisan zaman komunis. Itulah keterbatasan yang akan menjadi tantangan mahasiswa baru. Mulai dari aspek estetika, norma hingga urusan kebersihan. Gaya kehidupan pesantren salaf pun kadang menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari. Bagi mereka yang bersifat plentung pes, jangan harap bisa bertahan. Tidak heran ada cerita seorang bapak mengantarkan anaknya ke Rusia, tidak sampai satu bulan keduanya bersalaman: sepakat untuk pulang ke tanah air. Hahaha.... Menggelikan sekaligus menggelisahkan.


Transisi dan Metamorfosis

Rusia sekarang hakikatnya masih dalam masa transisi, dari suatu masyarakat komunal berlandaskan komunisme menjadi masyarakat individualis berdasarkan demokrasi dan kebebasan. Perubahan yang terjadi sangat cepat seiring dengan perubahan norma-norma yang berlaku. Kepemilikan yang dahulu tabu, misalnya, kini menjadi jamak. Orang kaya terus menjamur, sedangkan kaum papa juga seabrek jumlahnya.
Lupakan saja istilah lama: sama rata sama rasa. Buktinya, lebih dari 80 persen mobil di jalanan Moskow adalah mobil baru dari Eropa Barat, Jepang, dan Korea yang dengan mudah didapatkan melalui skema kredit. Dan tahun ini, Moskow pun sudah dibaptis menjadi kota termahal di dunia. Wow... keren!

Sesuai dengan namanya, masa transisi adalah masa gonjang-ganjing, suatu masa yang tidak jelas juntrungnya. Di bidang ekonomi, misalnya, antara penawaran dan permintaan pasar kadang tidak menemukan titik equilibriumnya. Pemilik apartemen bisa saja tiba-tiba minta kenaikan harga sewa bulanan sekian ribu dolar yang menurut kalangan umum tidak masuk akal. Namun, mereka tetap berprinsip just take it or leave it. Di negeri Beruang Merah ini, pembeli bukan raja. Penjual masih menjadi raja yang kadang kurang ramah.

Putaran transisi juga dialami berbagai sektor kehidupan, salah satunya adalah bidang pendidikan. Pelayanan kepada para penerima beasiswa relatif masih dalam tataran konsep “tangan di atas lebih mulia dari tangan di bawah”, terlepas seberapa besar rubel yang menetes. Meskipun pada dasarnya, orang tua mahasiswa juga harus merogoh kocek dalam-dalam lalu melakukan pengiriman devisanya setiap bulan dalam jumlah yang tidak sedikit. Dosen bergaji minim dan mahasiswa asing dilarang bekerja. Dus, konsep tersebut sering terimplementasi di kehidupan akademis sehari-hari dalam berbagai bentuk yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.

Uniknya, kini berbagai universitas di Rusia menjadi semacam sarang tawon yang dipenuhi lebah. Ratusan mahasiswa asing dari Eropa Barat maupun Asia seperti China, Korea dan Vietnam, terus membanjiri aneka kursus bahasa Rusia di berbagai universitas setiap tahun. Tidak kurang-kurang, ribuan mahasiswa Malaysia kini sedang nyantri di Moskow, St. Petersburg, dan kota besar lainnya. Bahkan konon kabarnya, mahasiswa saudara serumpun kita ini mendapatkan gelontoran dolar dari pemerintahnya lebih dari 500 dolar per bulan. Jumlah yang relatif cukup mewah untuk ukuran mahasiswa.

Ini semua pada galibnya memberikan beberapa sinyal yang mesti diperhitungkan. Pertama, meskipun beasiswa yang diberikan Pemerintah Rusia rendah plus servis serba pas-pasan, tetapi tombokan secara keseluruhan masih jauh lebih murah dibanding kuliah di Australia, misalnya. Kedua, ekonomi Rusia yang sedang booming serta geliat hegemoni politik internasionalnya merupakan kesempatan yang harus diantisipasi oleh siapapun sejak dini. Ketiga, terdapat beberapa universitas di Rusia memang memiliki reputasi internasional.

Kini, Pemerintah Rusia sedang melaju kencang untuk menyulap model dan sistem pendidikannya agar menyamai Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pada saatnya, bila tangan dingin Presiden Medvedev berhasil membereskan urusan pendidikan ini dalam hitungan dua-tiga tahun ke depan, bisa-bisa kuliah di Rusia menjadi sangat eksklusif dan sulit dijangkau. Sebelum metamorfosa itu terwujud, apa boleh buat, mahasiswa Indonesia yang berjumlah 100-an saat ini masih harus mempertahankan hidupnya ala santri pondok pesantren: bermental baja dengan sarana yang bersahaja. []

Catatan tentang pendidikan Rusia.
Moskow, akhir tahun 2008

Bule dalam Karung



Oleh: M Aji Surya (Diplomat RI di Rusia, dalam buku Seruling Diplomat, 2010)

Saya mungkin termasuk manusia katrok bin ndeso seperti Tukul ‘Empat Mata’ Arwana yang masih ngetop itu. Mau bukti? Saya kaget betul ketika mengetahui hasil jajak pendapat partikelir yang menyebutkan bahwa banyak wanita Indonesia lebih menyukai suami bule dibandingkan dengan pria lokal. Kepala saya jadi tambah puyeng ketika mengetahui alasan umum yang diberikan: “Memperbaiki keturunan!” Awalnya, saya mengira fenomena itu hanya ada di kalangan selebriti yang bergelimang sensasi. Hingga kini, pernyataan aneh itu masih saja saya dengar dari waktu ke waktu.

Ada multitafsir soal “perbaikan keturunan” yang disampaikan cewek-cewek yang mengaku modern itu. Namun, setidaknya bisa ditengok dua hal. Pertama, pria bule memang rata-rata secara fisik lebih yahud dibandingkan dengan pria lokal. Tubuh jangkung, dada bidang, kulit putih, rambut pirang, dan mata biru. Kedua, mereka dianggap sebagai golongan yang paling maju peradabannya dan makmur (banyak duitnya). Bandingkan dengan pria kita yang rata-rata pendek, kecil, udah gitu, tongpes lagi. Duh, cape deh….

Bisa jadi, ini merupakan warisan budaya inferior setelah sekian ratus tahun dijajah bangsa berkulit putih. Barat masih selalu dianggap baik dan positif ketimbang Timur. Bukti paling sederhana, berapa banyak dari kita tidak pede dengan kulit sawo matang, lalu dengan berbagai cara dipucatkan (diputihkan) dan rambut hitam yang eksotik itu diwarnai agar mirip rambut bule, blonde dan kepirangan.

Anehnya, mayoritas orang kulit putih justru sudah bosan dengan warna kulitnya dan lebih bangga bila berubah kecokelatan, khususnya setelah dipanggang matahari di musim panas. Bahkan, di beberapa negara Eropa bertebaran salon khusus untuk menghitamkan kulit. Kalau demikian, tidak salah dong bila ada bule nyindir: “Pada saat diterpa matahari, orang kulit putih buka baju, sedangkan orang Indonesia buka payung.”

Lain lagi di Prancis. Cewek-ceweknya yang dikenal bertubuh jaran teji alias tinggi semampai itu justru lebih menyukai cowok asal Afrika yang berkulit hitam gosong, beraroma khas, meskipun lebih sering berkantong bolong. Mereka menganggap pria kulit putih tidak macho dan cenderung “melambai”.

Kebanggaan vs Kepasrahan
Cinta memang tidak mengenal logika. Begitu kata Vina ‘Burung Camar’ Panduwinata. Ketika sedang jatuh cinta, semua yang ada pada sang pasangan jadi indah. Meski demikian, tetap saja ada rambu-rambu yang harus menjadi pegangan. Orang Jawa, misalnya, mengedepankan konsep bibit, bebet, dan bobot. Sedangkan ajaran Islam menyarankan kesetaraan kehidupan sosial seperti kemampuan intelektual, selain kesamaan iman, sebagai hal yang paling penting.

Masalahnya, ada orang yang sudah suka sebelum bersua. Cinta mati meski belum tahu orangnya. Dengan kata lain, membeli bule dalam karung. “Pokoknya asal bule, saya oke deh,” begitu sering terdengar. Dampak perilaku asal tubruk ini sangatlah fatal. Tidak terdapat lagi analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat), padahal perkawinan adalah proses negosiasi serta take and give yang sarat substansi. Mulai dari menyatukan dua hati, keluarga, visi, kebiasaan, adat, budaya, hingga agama. Dengan model perkawinan “karena bule” bukan “karena kecocokan” itu, potensi konflik dan bubar menjadi sangat rentan.

Sebagaimana dimafhumi, meskipun Indonesia berbhinneka tunggal ika, kenyataannya perkawinan antar-suku kadang tetap sulit. Mereka lebih suka dengan kalangan sendiri, inward looking marriage. Selain lebih mudah, juga tidak ada konflik budaya. Tapi, ajaib dan anehnya, banyak yang begitu permisif perkawinan dengan bule yang notabene sangat ekstrem perbedaan sistem budaya, sosial, kekeluargaan, kebiasaan, pendidikan, dan (kadang) agamanya.

Itulah sebabnya, kisah sedih perkawinan asal tubruk bule merunyak. Seorang kenalan yang lulusan S-2 universitas terkemuka di Amerika Serikat suatu ketika mengeluh dan meneteskan air mata di depan saya. Setelah menjalani perkawinan selama satu setengah tahun, WNI yang tinggal di Eropa Barat ini tanpa ba-bi-bu ditinggalkan suaminya. Si bule dengan gaya narsisnya hanya meninggalkan secarik kertas, “Sorry, habis bagaimana, saya nggak cinta lagi, sih.” Logis bagi si bule, tapi ngeselin dan nyebelin abis bagi kawan kita itu.

Ada lagi. Ijab kabul dilakukan di depan penghulu dan disaksikan Buya Hamka. Alih-alih terus rajin salat, setelah kembali ke negaranya, dengan enteng si bule mengaku bahwa syahadat yang diucapkan hanyalah akal bulus untuk mendapatkan pujaan hatinya. Sang istri yang salehah akhirnya lebih memilih cerai. Terlambat sudah, ia tidak bisa “pulang” ke Tanah Air karena telanjur menjadi warga negara asing. Saudari kita itu kini hidup kesepian di tengah keramaian dan harus ikhlas mengajukan visa ketika kangen kampung halaman.

Meski begitu, banyak juga pasangan cokelat-bule yang berhasil. Umumnya wanita kita harus “menyerah” total, baik dari segi budaya maupun agama. Anaknya rata-rata jadi sekuler dan tidak kenal lagu Indonesia Raya. Mereka pada galibnya telah melakukan barter kebanggaan dengan kepasrahan. Kata orang bijak, “Perlu wisdom dan pengetahuan yang tinggi agar perkawinan dengan bule dapat berimbang.”

Maaf beribu maaf, pembaca yang budiman. Pikiran saya kok tiba-tiba menerawang, teringat kebo bule bernama Kyai Slamet di Keraton Solo. Apa ya karena kebetulan berkulit bule, hewan bertanduk itu lalu dikeramatkan? Bukankah kebo, meski berkulit bule, tetap kebo? Entahlah. S’il vous plait madame et mademoisele, merenunglah dulu sebelum mengikuti pikiran saya yang konvensional, katrok, dan ndeso ini. Hehe…. []

Catatan tentang tren yang sulit dipahami: Kawin dengan bule.
Penerbangan Singapura-London, 2007