Selamat Datang di Blog Ratman Boomen. Semoga Anda Mendapat Manfaat. Jangan Lupa Beri Komentar atau Isi Buku Tamu. Terima Kasih atas Kunjungan Anda.

Halaman

07 Februari 2011

MENGACA KEJUJURAN PADA SPION ANGKOT


Oleh: M. Aji Surya, Diplomat RI di Rusia
Dalam buku Moskow-Petersburg-Vladivostok (Jaring Pena, 2010)
Uh…sebutir kejujuran.
Seperti barang yang sangat mahal dan mewah.
Di mananapun. Kapanpun.
Walaupun ada di atas angkot dan bus kota.


Banyak masalah di dunia ini sebenarnya merupakan hal-hal yang tidak perlu terjadi, sekiranya moralitas manusia bisa bertahan pada tingkat yang tinggi. Soal rendahnya tingkat kejujuran contohnya, dapat mengimbas pada hubungan pribadi hingga kehidupan kenegaraan. Semua berpulang kepada pendidikan dan teladan yang ada di lingkungan kita.

Pagi itu, seperti hari-hari lainnya istri saya pergi kuliah ke Institut Bahasa Pushkin. Karena jalanan penuh dengan salju, ia memutuskan untuk naik metro bawah tanah. Rupanya dia tidak berani berzig-zag mengendalikan mobil di atas salju yang terus menggunung setelah semalaman turun tanpa henti. “Saya juga emoh bermacet-ria,” dalihnya.

Saya mengantarkannya ke stasiun metro terdekat. Dan dalam sekejap ia menghilang ditelan bumi. Maklum, menuju stasiun metro di Moskow, para penumpangnya harus masuk ke dalam perut bumi menggunakan eskalator pada kisaran 40 meter. Sebelum kepalanya menghilang, saya lihat tangan mungilnya melambai-lambai. “Tidak perlu dikhawatirkan, toh sudah bisa berbahasa Rusia,” batinku.

Begitu malam ketemu di rumah, ia menceritakan pengalamannya yang menurut hemat saya cukup unik dan menarik. Jadilah perbincangan malam itu cukup seru.
“Bagaimana perjalananmu tadi?”
“Lancar-lancar saja. Dengan metro malah lebih cepat sampainya dibanding naik mobil. Tidak kena macet. Yah, cuma kadang jumlah penumpangnya bejibun. Hampir kayak kereta Jabotabek.”
“Ah masak sih?”
“Ya, tapi tidak ada yang naik sampai atap kereta. Mau kesundul lorong langit-langit apa?” jawab dia sekenanya sambil menyeruput wedang jahe yang dikirim seorang teman dari Jogja.
“Kok begitu penuh, memangnya keretanya jarang-jarang?” tanyaku.
“Hampir tiap tiga menit ada kok.”

Saya jadi teringat, beberapa kali naik kereta metro bawah tanah di Moskow, sungguh menyenangkan. Seolah kita masuk lorong-lorong museum yang sangat indah. Curamnya masuk stasiun metro justru menimbulkan rasa excitement tersendiri. Meskipun kadang sedikit berjejal, namun ada saja yang menarik untuk dilihat. Mulai pakaian masyarakatnya yang bermacam-macam hingga wanitanya yang ehm…, lain dari yang ada di Indonesia. Belum selesai mengagumi satu ornamen di stasiun metro, kereta biasanya sudah datang. Maklum, sekitar 7 juta penumpang mengandalkan kereta bawah tanah ini, seperti tikus-tikus dengan lorong-lorongnya yang unik.

“Keluar metro langsung nongol di kampus?”
“Kebetulan tidak, harus naik angkutan umum jalan raya.”
“Naik bus, trem atau angkot?”
“Naik angkot. Bayarnya 25 rubel, atau kurang dari satu dolar AS,” jawabnya.
“Apa yang menarik dari angkot. Bukannya suka berjejalan juga?”
“Nggak sih. Cuma, satu pelajaran yang saya dapatkan dari naik angkot adalah mengenai kerjasama dan kejujuran.”

“Hah, ada-ada saja. Jangan terlalu ngacau ah.”
“Begini ceritanya. Ini mungkin tidak pernah ada di Indonesia. Atau saya yang tidak tahu. Di angkot Moskow ini para penumpangnya seperti bersahabat, meskipun belum pernah kenal. Kerjasama antar-mereka sudah semacam konvensi. Dan, saya pun langsung tune in dengan kerjasama di dalam angkot itu.”
“Maksudnya ikut dorong bersama kalau macet. Begitu maksudmu?” kupingku mulai kupasang lebih baik. Menyelidik apa jawaban yang akan diberikan. Sementara, wedang jahenya tinggal setengah gelas.

“Jadi, penumpang pertama yang masuk duduk di dekat sopir, tidak di tengah atau paling belakang. Sebab, orang tadi rupanya akan sekaligus menjadi semacam kernet.”
“Ah,” ucapku pendek.
“Ini yang saya lihat tadi. Gak tahu kalau di lain waktu. Riil nih saya lihat dengan dua mata saya plus dua kaca mata saya,” sergahnya sambil sedikit emosi.
“Dia memang kernet kaleee,” ejekku.
“Dia penumpang kok. Mahasiswa. Dia duduk persis di belakang sopir. Bisa jadi biar mudah turun. Tapi kemudian dia menjadi semacam kernet, gitu loh,” kata-katanya ketus.

Saya tertawa ngakak, hahaha…. Dalam pikiran ini, penumpang pertama tadi akan teriak-teriak seperti yang ada di Ratu Plaza, sambil gelantungan, “Blok M!Blok M!” Tidak hanya itu, agak aneh juga kenapa penumpang pertama itu tidak duduk sembarangan, sesuka hati. Toh dia membayar, dan penumpang adalah raja. Bisa jadi dia ingin dekat pintu biar gampang turun, tidak melewati orang lain.
“Jangan ketawa dulu,” kata istriku agak tersinggung. “Penumpang tadi bukan sepenuhnya akan jadi kernet seperti di Indonesia, melainkan lebih tepat jadi kondektur dalam tanda kutip. Ia akan menerima uang dari penumpang lain lalu diserahkan kepada sopir. Soalnya di sini tidak ada model kernet seperti di kita,” ujarnya.

“Lalu, apakah ia juga jalan-jalan ke penumpang lain minta uang? Capek amat dong. Dan bagaimana kalau dia turun?”
“Pertama, kalau dia di atas mobil ya itu tadi tugasnya. Menjadi penghubung dengan sang sopir dalam soal finansial di atas kendaraan. Kalau dia turun, ya turun saja. Nanti posisinya akan digantikan oleh yang dekat sopir lainnya.”
“Weleh-weleh. Kok ya ada penumpang disuruh kerja begini,” kataku sambil membenarkan sarung yang sudah agak kedodoran.

“Terus penumpang lainnya juga berkewajiban membantu sang kernet tembak tersebut. Jadi, kalau ada penumpang yang masuk berikutnya, maka ia akan menyerahkan uang kepadanya. Tapi kalau yang datang belakangan, ya dikasihkan depannya, lalu dikasihkan depannya lagi, sampai si “kernet” tadi untuk disampaikan ke Pak Sopir.”
Angkot di kota Moskow ini sebenarnya merupakan alat angkut untuk jarak pendek, khususnya ke dan dari stasiun metro sehingga penumpang tidak perlu jalan kaki terlalu jauh. Angkot ini ukurannya sedikit kecil dari metromini dan kopaja di Jakarta. Penumpangnya maksimal 16 orang. Selain angkot, masih ada trem dan bus listrik.

“Nah uniknya, kalau penumpang yang paling belakang uangnya kebesaran, ya ditukar dulu sesama penumpang, baru secara estafet diberikan ke depannya. Atau kadangkala beberapa orang masuk dan saling menghitung uang, dikumpulkan lalu diserahkan depannya,” kata istriku.
“Bagaimana sopir tahu jumlah uang dan orangnya dong?”
“Jadi kalau yang membayar satu orang dan menyerahkan kepada depannya, ia akan bilang “eto ajin” alias satu orang. Kalau dua orang ya bilang “eto dvuh”. Dan yang diserahi duit juga langsung ngomong ke depannya lagi persis apa yang didengar dari belakang, “eto ajin” atau “eto dvuh”.
“Enak dong sopirnya.”
“Ya begitulah. Dia tinggal terima uang saja. Menoleh pun tidak. Dia percaya saja dengan uang yang diterima. Mau berapapun jumlahnya.”
“Walah-walah…apa tidak ada yang ngemplang kalau begitu?”
“Itu yang saya tidak tahu. Tetapi secara teori akan sulit, sebab ketika masuk dan duduk, kewajibannya adalah menyampaikan uang bayaran kepada depannya. Kalau dia diam saja, kan semua penumpang pasti akan bertanya-tanya, kok belum bayar. Inilah yang saya bilang kebersamaan dan kejujuran tadi.”

Ya, kebersamaan dan kejujuran. Gotong royong dan tanpa pamrih. Dua konsep kehidupan manusia yang selalu diajarkan oleh leluhur kita, oleh agama apapun dan dalam budaya manapun. Sesuatu yang universal dan dapat dipastikan manfaatnya. Tanpa kebersamaan, apalah artinya sebuah keluarga. Apalah jua artinya sebuah bangsa. Tanpa kejujuran, yang ada pasti saling tipu dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Akhirnya hancurlah peradaban manusia akibat exploitation de l’homme par l’homme atau istilah kita TMT (teman makan teman).

Saya jadi teringat anak tetangga yang masih kelas empat SD disebut-sebut sebagai anak cerdas dan pandai. Matematikanya selalu dapat 9 atau 10. Suatu ketika saya marahi karena menyeberang jalan raya tidak di zebra cross, sebab berbahaya. Tidak tahunya si pandai ini malah melotot sambil bilang begini, “Om, aturan itu untuk dilanggar. Kalau gak ada yang melanggar, nanti polisi kerjanya apa dong!”
“Siapa yang ngajarin kamu ngomong begitu,” sergahku.
“Babe saya sering bilang gitu.”
“Asem tenan,” pikirku.

Apa jadinya bila konsep-konsep tentang etika mulia atau akhlakul karimah tidak dipahami dan dipraktikkan sejak dini. Itu kan sama saja bilang, “Buang aja sampah di sembarang tempat, sebab kalau tidak begitu nanti tukang sapu nganggur.” Suatu cara pikir yang ngawur dan menghambat kemajuan kehidupan.
Tidak lama setelah istri saya cerita tentang kebersamaan dan kejujuran di dunia angkot Moskow itu, saya chatting dengan mahasiswa al-Azhar Kairo. Dia ini sering ngobrol dan sharing banyak hal dengan saya. Mulai urusan kuliah hingga masalah keluarganya.

Tiba-tiba saja ia nyeletuk, “Mas, kalau urusan kejujuran, di Kairo tempatnya.”
“Ah masak. Bukannya Kairo itu sebutannya nārun (neraka) dan nūrun (surga),” jawabku melalui laptop jadul.
“Eh gak percaya sampeyan,” katanya.
“Jelas dong. Dimana itu kejujuran ada. Ceritakan!”
“Ada Mas, DI DALAM BUS,” jawabnya tegas menggunakan huruf kapital.
“Hah? Copet jujur?”
“Bukan itu. Soal bayaran.”
“Gimana tuh?”
“Mas waktu itu sempat naik bus sama saya di Kairo kan?”
“Ya. Lalu?”
“Mas gak tahu bayar karcisnya saya titipkan ke penumpang lain.”
“Hah?”
“Iya. Kita kan duduk di belakang. Jadi duit kita berdua saya sampaikan ke penumpang depan saya sambil bilang ‘itsnain’ yang artinya dua orang.”
“Bukannya saat itu berjejalan?”
“Ya, uang itu jalan sendiri sampai sopir dan kembaliannya sampai ke tangan saya tidak kurang sedikit pun.”
“Ah masak?” Saya masih tidak percaya.
“Bener. Ini sudah jadi kebiasaan. Ini soal kejujuran. Ini soal moralitas. Ini soal kredibilitas sebagai makhluk Tuhan,” jawabnya di laptop saya, nerocos.
“Gile cing!”
“Jadi meskipun bus berisi 60 orang, sejauh ini tidak perlu yang namanya kondektur dan kernet.”
“Ck ck ck ck. Luar biasa,” batin saya.

Kejujuran dan kebersamaan yang dibangun atas nilai-nilai budaya, tradisi ataupun agama ternyata dapat menciptakan efisiensi. Mengurangi pemborosan. Hidup menjadi simple, enteng dan semua senang. Lalu muncul pula apa yang disebut dengan social responsibility. Tidak usah dikejar-kejar sudah secara otomatis akan melakukannya. Tidak perlu di halo-halo, gotong royong jalan. Tidak perlu didemo, kebenaran diungkapkan.

Itulah pentingnya mengapa seorang nabi harus diturunkan ke muka bumi, agar memperbaiki akhlak dan budi pekerti manusia. Bukan untuk siapa-siapa, ujung-ujungnya juga demi ketenteraman hidup manusia sendiri. Makanya para nabi yang dipilih oleh Tuhan itu bersedia menjalani hidup di dunia dengan menerima caci maki bahkan penghinaan fisik demi tegaknya nilai-nilai akhlak. Para nabi, selain pandai mengajarkan akhlak juga selalu siap menjadi contoh alias suri teladan. Uswatun hasanah istilahnya.

Sialan betul. Tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelayut dalam pikiran ini dan lama sekali saya tidak mendapatkan jawabannya. Sudah bertanya kanan kiri, eh malah diketawain. Mau tau pertanyaan itu? “Nabi siapa yang mengajarkan penduduk Moskow melakoni nilai-nilai kejujuran di atas angkot?”
Sebelum saya bertanya pada rumput yang penuh salju, mungkin diantara pembaca ada yang bisa membantu saya. Saya ucapkan spasiba alias terima kasih. []

Dampak Kekacauan di Mesir, Kesempatan Menarik Turis Rusia ke Indonesia


Turis mancanegara kini berbondong-bondong meninggalkan negeri para Farao menyusul kekacauan politik dalam negeri. Bahkan tidak sedikit calon wisman yang menunda kunjungannya. Adakah kebijakan spontan untuk mendeviasikan turis Rusia dari Mesir ke Indonesia?

Ya, peluang itu kini datang setelah Mesir dirundung malang dengan demonstrasi besar-besaran yang bermaksud menjatuhkan Presiden Hosni Mubarak. Jutaan orang yang keluar rumah di semua kota Mesir untuk 'berteriak' di jalanan, jebolnya sistem keamanan dalam negeri hingga kaburnya para napi, jelas bukan kondisi yang baik bagi dunia pariwisata. Negeri Farao yang tiap tahun dikunjungi puluhan juta wisman itu, kini lebih asyik masuk dalam kancah politik domestik yang bisa berkepanjangan. Hampir mirip yang dialami oleh Thailand tahun-tahun belakangan.

Sudah pasti, banyak negara menjadi risau akan keselamatan warganya yang sedang berada di negeri pyramid. Mulai dari negara besar Amerika Serikat, Jerman hingga Indonesia bersibuk ria untuk mengirimkan pesawatnya guna membawa pulang warganya, baik yang tinggal di sana maupun sekadar berlibur. Antrean panjang di bandara Kairo tidak terelakkan. Presiden Turki pun menunda kunjungan resminya. Sebuah eksodus besar-besaran sedang terjadi.

Tidak kalah dengan negara lain, Kementerian Luar Negeri Federasi Rusia telah mengeluarkan imbauan agar warga negara Rusia untuk sementara waktu tidak melakukan perjalanan ke Mesir. Pada waktu yang sama, Dinas Pariwisata Rusia menyarankan warganya yang sudah berencana berwisata ke Mesir dan membeli paket wisata untuk menunda keberangkatan tanpa harus membatalkan kontrak dengan tur operatornya hingga situasi kembali normal. Bahkan saat ini, Pemerintah Rusia menghimbau kepada para biro perjalanan wisata Rusia untuk sementara waktu tidak menjual paket wisata ke negeri Farao dan meminta mereka untuk berwisata ke tempat lain yang lebih aman.

Tidak hanya itu, kini Pemerintah Rusia juga tengah bersiap-siap untuk mengevakuasi warganya bila dirasa keadaan terus memburuk. Hot line telah dibuka agar setiap warga yang dalam kesulitan dapat melakukan kontak dengan pemerintah dengan mudah serta sebuah badan ad-hoc dibentuk untuk menanggulangi berbagai kemungkinan.

Maklumlah, bagi masyarakat Rusia yang lagi gemar melancong ini, Mesir merupakan salah satu tempat favorit bagi mereka. Bukan hanya pantai dan cuacanya hangat yang dikejar, namun jarak yang tidak terlalu jauh serta ongkos melancong yang terjangkau oleh kalangan menengah menjadikan Mesir tempat wajib kunjung.

Jangan kaget, setiap tahun wisatawan Rusia ke Mesir bejumlag 2,5 juta orang. Pada periode Januari-September 2010 misalnya, jumlah wisatawan Rusia yang berkunjung ke Mesir sebanyak 1,909 juta orang atau sedikit lebih rendah dari yang ke Turki (2.818 juta orang). Dan pada saat kerusuhan merunyak saat ini saja, konon terdapat 40 ribu wisatawan Rusia yang sedang berlibur dan 30-an ribu yang tinggal sementara di sana.

Sudah dapat dibayangkan dan diperkirakan, ribuan turis Rusia bersama turis mancanegara lainnya pasti akan termehek-mehek melakukan eksodus keluar Mesir dengan berbagai cara dan dengan biaya yang tidak sedikit. Political turmoil yang sedang mewabah di Mesir itu jelas akan mengganggu kenyamanan berwisata. Dan sesuai dengan karakter pelancong Rusia, mereka akan hengkang tapi tidak pulang. Hawa dingin yang bisa mencapai minus 25 di Rusia sekarang untuk sementara harus dihindari dan lebih baik mencari hawa panas di tempat lainnya.

Nah, bila saja imbauan Pemerintah Rusia diamini oleh calon pelancong ke Mesir, maka kini ribuan wisatawan Rusia sedang menimang-nimang destinasi baru atau malah kebingungan mau pergi entah kemana. Namun yang pasti, mereka akan mencari tempat yang panas, penerbangan tidak sulit dan pantai yang indah. Alternatif yang terbuka saat ini adalah ke Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Menurut perhitungan kasar sementara, setidaknya terdapat sekitar 20 ribuan turis Rusia di Mesir saat ini sedang eksodus dan 130 ribu turis Rusia yang akan datang ke Mesir membatalkan lalu mendeviasikan kunjungannya. Seratus lima puluh ribu turis itu kini sedang terkatung-katung dan menanti tawaran menarik dari berbagai negara yang memiliki matahari dan hawa yang hangat. Dalam kondisi pasar seperti ini, tentu berlaku rumus sederhana: siapa cepat ia dapat.

Inilah peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia beserta tur operatornya untuk segera bergerilya dan melakukan serangan taktis strategis guna menarik lebih banyak turis Rusia datang ke Indonesia. Potensi wisata dan infrastruktur yang kita miliki jelas sangat kompetitif. Dan, meskipun kepak sayap penerbangan langsung belum ada, namun wisatawan Rusia memiliki banyak pilihan, mulai dari SQ, Etihad, Emirates hingga Qatar Airways.

Walaupun masih berjarak bumi dan langit dengan Mesir, Indonesia telah mampu menjadi salah satu tujuan wisata warga Rusia. Berdasarkan data Asosiasi Tour Operator Rusia (ATOR), dalam periode Januari-Agustus 2010 jumlah wisatawan Rusia yang berkunjung ke Indonesia sekitar 50 ribu orang atau meningkat 8,4% dibandingkan periode yang sama tahun 2009. Dengan prosentase peningkatan ini, Rusia merupakan negara kedua penyumbang turis asing di antara negara-negara Eropa, setelah Inggris (10%).

Dalam periode 8 bulan pertama tahun 2010 tersebut, Rusia menempati urutan ke-15 penyumbang turis asing ke Indonesia dan urutan ke-5 di antara negara-negara Eropa (setelah Perancis, Inggris, Jerman dan Belanda). Dari data statistik tersebut, 82% wisataan Rusia ke Indonesia masuk melalui airport Denpasar dan 12% melalui airport Soekarno-Hatta.

Sementara itu, pada tahun 2009 wisatawan Rusia rata-rata menghabiskan waktu liburannya di Indonesia selama 9,8 malam atau berkurang 3 malam dibandingkan tahun 2008, akan tetapi masih tetap lebih lama 2 malam dari rata-rata wisatawan asing lainnya. Seorang wisatawan Rusia rata-rata menghabiskan biaya US$ 1.527 di Indonesia atau pada urutan keempat setelah wisatawan Norwegia (US$ 2.133), Swiss (US$ 1.709) dan Spanyol (US$ 1532). Di Bali, turis Rusia termasuk dikenal sangat royal, termasuk untuk urusan tip.

Diperkirakan turis Rusia ke Indonesia tahun ini akan mendekati angka 100 ribu orang. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan jumlah turis Rusia yang berkunjung ke Thailand yang berada pada kisaran 650 ribu orang atau ke Malaysia sebesar 300 ribu.

Tentu saja, gejolak politik yang terjadi di beberapa negara, seperti Thailand beberapa waktu lalu dan saat ini di Timur Tengah, yaitu Mesir dan Tunisia secara otomatis berdampak pada penurunan jumlah arus wisatawan Rusia yang berkunjung ke negara-negara tersebut. Karenanya, sudah saatnya pihak berwenang di Indonesia secepat kilat melakukan koordinasi dan bertindak secara aktif dan progresif memanfaatkan peluang yang ada.

Sekiranya saja separuh dari 150 ribu wisatawan Rusia yang saat ini kebingungan itu mampu ditarik ke Indonesia, maka dalam kalkulasi kasar akan dihasilkan devisa sebesar 114.525.000 dolar AS atau setara dengan Rp 1.030.725.000.000. Tentu ini bukan uang sedikit bukan? Apa boleh buat, derita sebuah negeri bisa jadi merupakan rejeki negeri lainnya. Namun, bila saja promosi Indonesia telat, maka seperti biasa, negara jiran tidak segan-segan untuk melahapnya.

*) M. Aji Surya adalah Diplomat Indonesia di Moskow, Rusia.
http://us.detiknews.com

AWAS, BLACK WIDOWS!


Oleh: M. Aji Surya, Diplimat RI di Rusia
Dalam buku Moskow-Petersburg-Vladivostok (Jaring Pena, 2010)

Kadangkala, kekuatan seorang perempuan diremehkan. Dianggap tidak mampu melakukan apa yang bisa diperbuat seorang lelaki. Indonesia harus mulai aware tentang kekuatan black widows, bila tidak ingin ada kebijakan “gali lobang tutup lobang”.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kita terus merangsek ke berbagai kegiatan antiterorisme. Sejak bom meledak-ledak dari Bali hingga Jakarta, diam-diam Densus 88 bekerja keras terus menangkapi para teoris agar Indonesia menjadi lebih aman. Bahkan Jakarta Centre for Law Enforcement & Cooperation di Semarang terus menjadi tumpuan banyak negara untuk belajar bagaimana memberantas yang namanya terorisme. Tidak kurang-kurang, promosi Islam moderat selalu dikedepankan Pemerintah Indonesia.

Di sisi lain, kita tidak henti-hentinya mendengar penangkapan dan penembakan dari orang-orang yang disebut teroris. Hampir tiap bulan kita dikejutkan aksi Densus 88 di berbagai kota, dari Aceh, Jakarta, Solo hingga kota kecil Klaten, Jawa Tengah. Seolah terorisme bak sebuah agama yang sulit sekali diberantas dan pengikutnya benar-benar tidak gentar dengan letusan pelor menembus dada mereka. Mungkin sudah lebih dari 500-an orang yang diduga terkait dengan tindakan biadab tersebut ditangkap atau didor.

Lalu kapan ini semua akan selesai? Terus terang, pertanyaan ini selalu menggelitik hati dan pikiran saya. Apakah kita sudah cukup bangga sebagai bangsa yang mampu mematikan rencana aksi teror meskipun “paham teror” tidak bisa dipadamkan? Apakah ujung bedil dapat mengkerdilkan sebuah keyakinan? Lalu, sejauh mana pengejawantahan konsep Islam moderat?

Melihat bagaimana gegap-gempitanya prosesi penguburan seorang yang dianggap sebagai teroris oleh massa pendukungnya, terus terang saya agak berkecil hati. Bagaimana tidak, kadang mereka benar-benar dianggap sebagai seorang yang mati syahid, layaknya anggota pasukan Nabi Muhammad ketika harus meregang nyawa di waktu Perang Badar. Pasti akan masuk surga, lā raiba fīh alias tidak ada keraguan sedikit pun.

Kadang ratusan orang, sebagaimana dilansir oleh media massa, berteriak membakar langit dengan kalimat-kalimat takbir. Hati mereka marah dan keyakinan mereka menggelegak. Berbagai spanduk dengan terang-benderang menyatakan bahwa mereka mendukung yang dituduhkan polisi sebagai teroris. Uniknya lagi, diantara mereka yang berduka dan melantunkan takbir adalah para wanita dan anak-anak. Bila begini, haruskah mereka yang menjadi pendukung itu juga ditangkap dan diganjar atas keyakinan mereka? Lalu, berapa sel penjara yang dibutuhkan untuk mereka?

Kegalauan saya terus terang menjadi-jadi dengan sebuah fenomena yang sering disebut dengan black widow. Inilah istilah yang mungkin pertama kali muncul dari Rusia sebagai bentuk sebuah perlawanan yang dilakukan oleh para janda muslim yang suaminya meninggal karena “peperangan” melawan kelaliman. Istilah awalnya adalah shahidka. Mereka adalah sebuah sub-unit dari kelompok pengebom bunuh diri pemberontak di Chechnya.

Terminologi black widows sendiri kemungkinan berasal dari sebuah kenyataan banyaknya wanita yang tiba-tiba menjadi janda karena suaminya (pemberontak) terbunuh oleh tentara Rusia. Sejak tahun 2003, istilah ini menjadi sangat terkenal karena keberanian mereka melakukan aksi bunuh diri yang didorong sebuah keyakinan akan menjadi semacam pengantin Tuhan (brides of Allah). Uniknya lagi, mereka rata-rata berumur muda antara 15-19 tahun.

Masih segar dalam ingatan bahwa peledakan di dua stasiun metro di Rusia pada bulan Maret 2010 telah membunuh sekitar 40 orang. Hal sama juga terjadi di tahun 2004. Semua dilakukan oleh shahidka atau yang sering disebut dengan black widows. Wanita-wanita muda yang masih ranum, namun memiliki keberanian yang tidak tanggung-tanggung. Meledakkan diri menjadi the bride of Allah.

Kini di Indonesia sudah mulai terjadi proses penjandaan bagi mereka yang ditinggal mati suaminya akibat terkena pelor yang berwajib. Pasti jumlahnya belumlah sampai ratusan, namun menafikan keberadaan mereka adalah sebuah kebijakan yang salah. Para janda inilah yang kalau jujur harus diakui sebagai orang yang paling dekat dengan sang “teroris”. Dialah yang memiliki kesepahaman relatif atas suaminya yang meninggal dan dianggap salah oleh pemerintah itu. Janda ini juga yang memiliki empati dan dampak langsung baik dari segi ekonomi maupun psikologis. Bukti konkret keterlibatan janda adalah peran seorang janda terduga teroris Susilo Adib yang dituntut 8 tahun penjara. Wanita muda bercadar yang berusia 21 tahun tersebut ditengarai membantu Noordin M. Top bersembunyi di Jebres, Solo.

Saya menduga, meskipun sama sekali tidak berharap, bila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka pada waktunya akan muncul black widows ala Indonesia. Sesuatu yang tidak mustahil ada. Sesuai dengan kodratnya, seorang wanita Indonesia memiliki kesetiaan yang tinggi tehadap suami dan keyakinan suaminya. Hal ini mungkin akan menjadi lebih mungkin manakala terjadi tambahan brain washing dari kelompok tertentu, entah dengan dalih untuk bertemu dengan sang suami atau seperti di Rusia menjadi bride of God!

Jujur saja, pemberantasan secara sporadis terhadap para pengikut gerakan yang membenarkan pembunuhan massal tidak serta merta akan menghentikan keyakinan mereka. Sekadar mengibarkan panji Islam moderat juga belum cukup. Diperlukan sebuah usaha untuk menemukan secara pasti apa yang disebut sebagai the root causes of terrorism di tanah air. Mencari asbanun nuzul-nya. Setelah itu baru dilakukan pengobatan dan terapi yang tepat.

Meski tidak disepakai oleh banyak negara maju, namun umumnya asal-muasal teorisme adalah kemelaratan dan rendahnya pendidikan. Dua masalah ini harus menjadi concern pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhan bila tidak ingin ada bom meledak dan munculnya black widows di tanah air.

Alasan klasik tentang minimnya budget untuk mengatasi kemelaratan mestinya tidak perlu ada bila uang negara tidak digerogoti “tikus” dalam berbagai bantuknya. Meningkatkan pendidikan di seluruh pelosok Indonesia juga bukan sesuatu yang susah, bila implementasi anggaran pendidikan tepat sasaran dan tidak dikorupsi. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah niat baik dan implementasi niat dengan benar, tidak disisipi oleh agenda pilitik dan kepentingan pribadi. Tanpa itu, rasanya kita semua akan dibikin susah oleh aksi terorisme. Na’ūdzubillāhi min dzālik. []


Catatan tentang terorisme.
Moskow, Juni 2010