Oleh: M. Aji Surya, Diplimat RI di Rusia
Dalam buku Moskow-Petersburg-Vladivostok (Jaring Pena, 2010)
Kadangkala, kekuatan seorang perempuan diremehkan. Dianggap tidak mampu melakukan apa yang bisa diperbuat seorang lelaki. Indonesia harus mulai aware tentang kekuatan black widows, bila tidak ingin ada kebijakan “gali lobang tutup lobang”.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah kita terus merangsek ke berbagai kegiatan antiterorisme. Sejak bom meledak-ledak dari Bali hingga Jakarta, diam-diam Densus 88 bekerja keras terus menangkapi para teoris agar Indonesia menjadi lebih aman. Bahkan Jakarta Centre for Law Enforcement & Cooperation di Semarang terus menjadi tumpuan banyak negara untuk belajar bagaimana memberantas yang namanya terorisme. Tidak kurang-kurang, promosi Islam moderat selalu dikedepankan Pemerintah Indonesia.
Di sisi lain, kita tidak henti-hentinya mendengar penangkapan dan penembakan dari orang-orang yang disebut teroris. Hampir tiap bulan kita dikejutkan aksi Densus 88 di berbagai kota, dari Aceh, Jakarta, Solo hingga kota kecil Klaten, Jawa Tengah. Seolah terorisme bak sebuah agama yang sulit sekali diberantas dan pengikutnya benar-benar tidak gentar dengan letusan pelor menembus dada mereka. Mungkin sudah lebih dari 500-an orang yang diduga terkait dengan tindakan biadab tersebut ditangkap atau didor.
Lalu kapan ini semua akan selesai? Terus terang, pertanyaan ini selalu menggelitik hati dan pikiran saya. Apakah kita sudah cukup bangga sebagai bangsa yang mampu mematikan rencana aksi teror meskipun “paham teror” tidak bisa dipadamkan? Apakah ujung bedil dapat mengkerdilkan sebuah keyakinan? Lalu, sejauh mana pengejawantahan konsep Islam moderat?
Melihat bagaimana gegap-gempitanya prosesi penguburan seorang yang dianggap sebagai teroris oleh massa pendukungnya, terus terang saya agak berkecil hati. Bagaimana tidak, kadang mereka benar-benar dianggap sebagai seorang yang mati syahid, layaknya anggota pasukan Nabi Muhammad ketika harus meregang nyawa di waktu Perang Badar. Pasti akan masuk surga, lā raiba fīh alias tidak ada keraguan sedikit pun.
Kadang ratusan orang, sebagaimana dilansir oleh media massa, berteriak membakar langit dengan kalimat-kalimat takbir. Hati mereka marah dan keyakinan mereka menggelegak. Berbagai spanduk dengan terang-benderang menyatakan bahwa mereka mendukung yang dituduhkan polisi sebagai teroris. Uniknya lagi, diantara mereka yang berduka dan melantunkan takbir adalah para wanita dan anak-anak. Bila begini, haruskah mereka yang menjadi pendukung itu juga ditangkap dan diganjar atas keyakinan mereka? Lalu, berapa sel penjara yang dibutuhkan untuk mereka?
Kegalauan saya terus terang menjadi-jadi dengan sebuah fenomena yang sering disebut dengan black widow. Inilah istilah yang mungkin pertama kali muncul dari Rusia sebagai bentuk sebuah perlawanan yang dilakukan oleh para janda muslim yang suaminya meninggal karena “peperangan” melawan kelaliman. Istilah awalnya adalah shahidka. Mereka adalah sebuah sub-unit dari kelompok pengebom bunuh diri pemberontak di Chechnya.
Terminologi black widows sendiri kemungkinan berasal dari sebuah kenyataan banyaknya wanita yang tiba-tiba menjadi janda karena suaminya (pemberontak) terbunuh oleh tentara Rusia. Sejak tahun 2003, istilah ini menjadi sangat terkenal karena keberanian mereka melakukan aksi bunuh diri yang didorong sebuah keyakinan akan menjadi semacam pengantin Tuhan (brides of Allah). Uniknya lagi, mereka rata-rata berumur muda antara 15-19 tahun.
Masih segar dalam ingatan bahwa peledakan di dua stasiun metro di Rusia pada bulan Maret 2010 telah membunuh sekitar 40 orang. Hal sama juga terjadi di tahun 2004. Semua dilakukan oleh shahidka atau yang sering disebut dengan black widows. Wanita-wanita muda yang masih ranum, namun memiliki keberanian yang tidak tanggung-tanggung. Meledakkan diri menjadi the bride of Allah.
Kini di Indonesia sudah mulai terjadi proses penjandaan bagi mereka yang ditinggal mati suaminya akibat terkena pelor yang berwajib. Pasti jumlahnya belumlah sampai ratusan, namun menafikan keberadaan mereka adalah sebuah kebijakan yang salah. Para janda inilah yang kalau jujur harus diakui sebagai orang yang paling dekat dengan sang “teroris”. Dialah yang memiliki kesepahaman relatif atas suaminya yang meninggal dan dianggap salah oleh pemerintah itu. Janda ini juga yang memiliki empati dan dampak langsung baik dari segi ekonomi maupun psikologis. Bukti konkret keterlibatan janda adalah peran seorang janda terduga teroris Susilo Adib yang dituntut 8 tahun penjara. Wanita muda bercadar yang berusia 21 tahun tersebut ditengarai membantu Noordin M. Top bersembunyi di Jebres, Solo.
Saya menduga, meskipun sama sekali tidak berharap, bila hal ini tidak ditangani dengan baik, maka pada waktunya akan muncul black widows ala Indonesia. Sesuatu yang tidak mustahil ada. Sesuai dengan kodratnya, seorang wanita Indonesia memiliki kesetiaan yang tinggi tehadap suami dan keyakinan suaminya. Hal ini mungkin akan menjadi lebih mungkin manakala terjadi tambahan brain washing dari kelompok tertentu, entah dengan dalih untuk bertemu dengan sang suami atau seperti di Rusia menjadi bride of God!
Jujur saja, pemberantasan secara sporadis terhadap para pengikut gerakan yang membenarkan pembunuhan massal tidak serta merta akan menghentikan keyakinan mereka. Sekadar mengibarkan panji Islam moderat juga belum cukup. Diperlukan sebuah usaha untuk menemukan secara pasti apa yang disebut sebagai the root causes of terrorism di tanah air. Mencari asbanun nuzul-nya. Setelah itu baru dilakukan pengobatan dan terapi yang tepat.
Meski tidak disepakai oleh banyak negara maju, namun umumnya asal-muasal teorisme adalah kemelaratan dan rendahnya pendidikan. Dua masalah ini harus menjadi concern pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhan bila tidak ingin ada bom meledak dan munculnya black widows di tanah air.
Alasan klasik tentang minimnya budget untuk mengatasi kemelaratan mestinya tidak perlu ada bila uang negara tidak digerogoti “tikus” dalam berbagai bantuknya. Meningkatkan pendidikan di seluruh pelosok Indonesia juga bukan sesuatu yang susah, bila implementasi anggaran pendidikan tepat sasaran dan tidak dikorupsi. Yang dibutuhkan hanyalah sebuah niat baik dan implementasi niat dengan benar, tidak disisipi oleh agenda pilitik dan kepentingan pribadi. Tanpa itu, rasanya kita semua akan dibikin susah oleh aksi terorisme. Na’ūdzubillāhi min dzālik. []
Catatan tentang terorisme.
Moskow, Juni 2010
07 Februari 2011
AWAS, BLACK WIDOWS!
Ratman Boomen 07 Februari 2011
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 Responses:
Posting Komentar