Ibnu Nafis
Si Penemu Pembuluh Darah Kapiler
Oleh: Ratman al-Kebumeny
Siapakah Dia?
Dokter mumpuni yang dianggap sebagai "Ibnu Sina kedua" ini bernama lengkap Abu 'Ala'i 'Alauddin 'Ali bin Abi Hazm bin Nafis Qurasyi Ad Damasyqi, dan terkenal dengan Ibnu Nafis. Ia lahir sekitar tahun 607 H / 1213 M di Damaskus. Ia mengenyam pendidikan di sekolah tinggi kedokteran dan rumah sakit An Nuri yang didirikan oleh Nuruddin Zangi, seorang gubernur Damaskus. Di sekolah ini banyak mahasiswa datang dari berbagai penjuru untuk menimba ilmu, termasuk mahasiswa kedokteran Nasrani bernama Aminuddaulah Ibnu Tilmidz Al Baghdadi.
Di tempat belajar inilah Ibnu Nafis memperoleh ilmu yang luas dengan fasilitas perpustakaan besar dan lengkap. Karya-karya kedokteran yang telah ada sebelumnya seperti Al Hawi-nya Ar Razi dan Al Qanun fi Ath Thibb-nya Ibnu Sina menjadi hidangan yang dikaji oleh mahasiswa. Ibnu nafis pun tak pelak mengkaji karya-karya pendahulunya itu dengan cermat dan kritis. Dalam belajarnya, Ibnu Nafis dibimbing oleh dokter ahli mata kawakan bernama Ad Dahwar Muhadzibudin Abdurrahim yang menjabat direktur rumah sakit An Nuri. Dari Ad Dahwar inilah Ibnu Nafis banyak memperoleh ilmu dan wejangan kedokteran. Selama kurang lebih 10 tahun Ibnu Nafis belajar kedokteran di Damaskus dengan bimbingan dokter Ad Dahwar, ia muncul ke permukaan dunia kedokteran sebagai seorang mumpuni dalam usia yang tergolong muda.
Selanjutnya, dengan kepakarannya itu, Ibnu Nafis mendapat kepercayaan sebagai kepala rumah sakit Nasri di Kairo. Di Kairo ia banyak mendidik dokter, termasuk ahli bedah terkenal Ibnu Al Quff Al Masihi. Ibnu Nafis juga mendedikasikan dirinya di sekolah Mansuriyah, Kairo. Akhirnya, setelah banyak berkarya dan mengabdi, Ibnu Nafis meninggal sekitar bulan Dzulhijjah 667 H / 1288 M.
Apa Karyanya?
Setelah belajar lama di damaskus dan menjadi dokter mumpuni, hingga akhirnya pindah ke Kairo sebagai kepala rumah sakit di sana, Ibnu Nafis menghasilkan banyak karya yang bermanfaat dan orisinil di dunia kedokteran. Dia termasuk kritikus di dunia kedokteran dan penemu yang jenius. Ibnu Nafis mengkritik pendapat Galen, yang dianggapnya kurang mampu. Bahkan pendahulunya yang masyhur, Ibnu Sina pun tak luput dari kritiknya. Ternyata, kritikan dan pembahasannya terhadap pakar kedokteren di atas dimnegerti dan diikuti oleh para dokter di Mesir. Mereka mengagumi kemampuan Ibnu Nafis, sehingga menjulukinya "Ibnu Sina kedua".
Ibnu Nafis tak hanya mengkritik, tapi juga memberikan perbaikan-perbaikan yang bermutu. Kitab Ibnu Nafis yang membahas Al Qanun fi Ath Thibb-nya Ibnu Sina adalah Syarhu Tasyrih Ibnu Sina (Komentar atas Anatomi Ibnu Sina). Buku ini menjadi referensi penting dunia kedokteran. Dalam kitabnya itu, Ibnu Nafis membedakan berbagai jenis pembedahan. Bedah otak adalah bagian dari pengobatan penyakit kepala, bedah mata masuk pengobatan penyakit mata, dan sebagainya. Mengenai pengelompokkan yang dilakukan Ibnu Sina, ia tidak keberatan, bahkan ia menjelaskan teori-nya Ibnu Sina ke dalam buku Ibnu Nafis sendiri sampai dua jilid. Ia juga termasuk orang yang bertekad menjadikan ilmu anatomi menjadi bagian dari ilmu kedokteeran yang berdiri sendiri.
Dalam pembedahan, Ibnu Nafis juga mumpuni. Ia mengkaji pembedahan tulang dan persendian, pembedahan hati, saluran darah, rongga badan, jantung, syaraf, dan kulit. Dalam hal bedah, Ibnu Nafis mengomentari Ibnu Sina, apakah Ibnu Sina pernah melakukan pembedahan diam-diam? Padahal waktu itu membedah mayat dilarang.
Ibnu Nafis juga menulis Asy Syamil fi Ath Thib yang direncanakan sebanyak 300 jilid. Ia bertekad mengumpulkan hasil karyanya beserta hasil karya kedokteran di zamannya ke dalam ensiklopedi kedokteran melengkapi Al Hawi-nya Ar Razi. Namun, Asy Syamil fi Ath Thib tak terselesaikan penulisannya karena Ibnu Nafis lebih dahulu dipanggil oleh Allah menghadap-Nya. Ia hanya baru mampu menulis 80 jilid sampai tutup usianya dan tidak sampai 300 jilid. Akan tetapi, ia sempat membuat ringkasannya secara sempurna dalam kitabnya Al Maujaz fi Ath Thib yang sampi dicetak ulang beberapa kali.
Kitab lainnya karya Ibnu Nafis adalah Al Muhadzdzab yang membahas pengobatan beberap penyakit kornea mata. Dalam persolan makanan dan penyakit, ia juga membahasnya dalam Al Mukhtar fi Al Aghdiya. Dalam kitab ini diterangkan dampak-dampak makanan terhadap kesehatan dan pengobatan pasien.
Dan hal yang sangat penting dari karyanya adalah temuannya mengenai pembuluh kapiler. Peredaran darah kecil melalui pembuluh darah secara lebih detail dan akurat dikemukakan pertama oleh Ibnu Nafis, 400 tahun sebelum William Harvey, seorang ahli kedokteran Inggris mengemukakan hal yang sama dengan Ibnu Nafis. Sebelum mengemukakan temuannya, Ibnu Nafis menjelaskan dan mengoreksi teori dan pendapat mengenai peredaran darah oleh para dokter sebelumnya. Ibnu Sina dan pakar kedokteran lain mengemukakan bahwa jantung manusia terdiri atas tiga bagian, sedangkan Ibnu Nafis menyatakan dua bagian, yaitu bilik kanan dan kiri.
Mengenai peredaran darah, Ibnu Nafis menjelaskan bahwa darah dari tubuh masuk ke bilik kiri (melalui pembuluh darah balik), kemudian masuk ke paru-paru bercampur oksigen, lalu ke bilik kiri, dan selanjutnya dipompakan oleh jantung ke seluruh tubuh. Penemuan Ibnu Nafis ini merupakan temuan baru sama sekali di dunia kedokteran.pendapat sebleum Ibnu Nafis mengatakan bahwa peredaran darah berlangsung antara jantung dan paru-paru, dan antara paru-paru dan jantung. Maka, dengan temuan berunya ini, Ibnu Nafis merintis teori peredaraan darah kecil yang bersumber pada paru-paru. Dan sampai akhir abad ke-15 tak seorang pun dari Universitas Padua di Italia yang berhasil mengemukakan teori baru tentang perdaran darah kecil, antara jantung dan paru-paru dan sebaliknya, serta system peredarannya sendiri, apakah lurus atau peredaran darah balik.
Mengenai penemuan peredaran darah kecil Ibnu Nafis ada kisah yang menarik. Kitab Syarhu Tasyrih Ibnu Sina-nya Ibnu Nafis diterjmahkan ke bahasa Latin oleh dokter Italia bernama Elbago. Penerbitan terjemahan ini mnegundang perhatian ilmuwan Eropa, bahakan dijadikan acuan tiga karya tulis tiga orang ahli kedokteran Universitas Badwa Italia yang menjelaskan peredaran daarah kecil. Mereka adalah Mighel Sayarvetus (dari Spanyol), Rialdo Colombo dan Andre Sizalbito (keduanya dari Italia). Dengan demikian berarti teori peredaran darah kecil Ibnu Nafis sudah dipakai oleh ahli kedokteran Eropa.
Hingga masa kemudian, kajian mengenai teori peredaran darah kecil di Eropa terus berlangsung, termasuk di Inggris. Salah satu orangnya adalah William Harvey, seorang dokter lulusan Universitas Italia yang mengembangkan teorinya di di tanah asalnya, Inggris. Ia membahas teori peredaran darah besar dan kecil dengan lengkap. Uraiannya ditulis dalam bukunya Studi-studi Anatomik-Analisis terhadap Jantung dan Peredaran Darah Hewan. Buku William Harvey yang ditulis abad ke-17 M itu sama sekali tidak menunjuk dan merujuk sumber bahasa Arab hasil tulisan Ibnu Nafis, maupun yang berbahasa Itali dari buku Ibnu Nafis yang diterjemahkan. Karena tulisan William Harvey inilah kemudian di dianggap oleh pakar kedokteran di dunia sebagai penemu pertama kali peredaran darah kecil, bukannya Ibnu Nafis. Pakar dunia melupakan (atau sengaja melupakan?) temuan dan karya besar Ibnu Nafis dalam peredaran darah kecil, jauh sebelum William Harvey lahir. Padahal, karya Ibnu Nafis sudah dikenal dan dipakai oleh ahli kedokteran Eropa melalui terjemahan Elbago ke dlam bahasa Latin di Universitas Padua Italia.
Kenyataan baru terjadi di abad ke-20 M ketika seorang dokter ahli dari Mesir bernama Muhyiddin Atathawi belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Freiburg Jerman. Ketika mengajukan hasil penelitiannya untuk meraih doktoralnya tahun 1924 M, Muhyiddin Atathawi menemukan manuskrip Syarhu Tasyrih Ibnu Sina-nya Ibnu Nafis. Maka, dalam disertasi doktoralnya mengenai peredaran darah dengan judul Peredaran Darah Sebagai Akibat Udara Dingin, ia menyatakan bahwa Ibnu Nafis-lah penemu peredaran darah kecil di abad ke-13 M, jauh sebelum William Harvey yang dianggap penemunya.
Kasus Muhyiddin Atathawi membuat heran dan merasa asing para penguji dan promotornya. Karena tidak mengetahui bahasa Arab, mereka tidak mengakui temuan Muhyiddin Atathahawi. Namun, mereka masih menghargai karya Muhyiddin Atathawi dengan mengirim salinan disertasinya kepada Mayerhov, seorang orientalis yang pernah tinggal di Kairo, untuk dimintai pendapatnya mengenai kebenaran disertasi tersebut. Mayerhov pun mengkaji disertasi Muhyiddin Atathawi dan manuskrip Ibnu Nafis yang telah lama hilang di peredaran, dan menyatakan bahwa disertasi Muhyiddin Atathahawi dan manuskrip Ibnu Nafis adalah benar adanya.
Mayerhov kemudian menyatakan kebenaran disertasi Muhyiddin Atathawi ke penguji dan promotornya. Tak hanya itu, Mayerhov juga memberitahukan tentang manuskrip Ibnu Nafis kepada George Sarton, seorang sejarawan, agar ditulis dalam buku-bukunya. George Sarton pun mempublikasikan hal tersebut. Penelitian untuk melacak karya-karya Ibnu Nafis juga dilakukan oleh Mayerhov. Dengan usaha baik Mayerhov inilah kemudian dunia mengakui kembali Ibnu Nafis sebagai penemu teori-teori kedokteran dan ilmuwan besar di bidangnya. Begitulah, emas akan tetap emas walapun diceburkan ke lumpur. []
05 Februari 2009
(12) Ibnu Nafis
Ratman Boomen 05 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 Responses:
Posting Komentar