Ibnu Hazm dan Cinta
Ibnu Hazm al-Andalusi pernah berkata dalam kitabnya yang berjudul Thauq al- Hamâmah fî al-Ulfah wa al-Ulâf (Kemampuan Seekor Burung Dara dalam Merajut Sebuah Kasih Sayang dan Bahkan Ribuan Kasih Sayang), tepatnya pada bab Kelemahan Cinta: Menjadi sebuah keaiban sebagai pecinta sejati yang tidak melanjutkan hubungan asmaranya dengan keterusterangan, atau meninggalkan begitu saja sang kekasih, atau bungkam seribu bahasa yang bermakna putus hubungan asmara yang bisa menyebabkan sakit hati, lemah lunglai, bahkan badan menjadi kurus kering. Dan, sangat mengenaskan lagi jika sampai menelantarkan seseorang ke dalam penderitaan. Kejadian seperti ini selalu ada dan sering terjadi. Nilai-nilai positif yang ditemukan dari sebuah cinta tidak sepadan jika dibandingkan dengan sisi negatifnya. Hal ini hanya dapat disimpulkan oleh seorang tabib mahir atau kritikus handal. Dalam pada itu, Ibnu Hazm berkata:
Seorang tabib berkata kepadaku tanpa didasari ilmu pengetahuan
Berobatlah engkau wahai orang yang berpenyakit
Sedangkan penyakitku itu tiada yang mengetahuinya kecuali aku
Dan juga Tuhan yang Mahakuasa, Maharaja dan Mahamulia
Apakah harus aku sembunyikan, sedangkan hal itu akan dibeberkan oleh keledai yang tertawa terbahak-bahak
Yang akan selalu mendekatiku dan mengetuk panjang pintuku
Wajah yang melambangkan bentuk kesedihan
Dan tubuh bak kuda yang kurus dan lemah lunglai
Keadaan yang kalian rasakan adalah fitrah adanya, dan akan dilalui setiap pemuda maupun pemudi pada fase pertumbuhan dewasa. Setiap orang yang berada pada fase ini pasti akan merasakan cinta yang menggebu-gebu dan selalu berangan-angan seandainya setiap saat dalam hidupnya selalu bersama sang kekasih serta berharap datangnya suatu hari di mana ia mendengar suara gendang pernikahan dan melanjutkannya dengan makan sepiring berdua yang dipadukan atas dasar cinta, kehangatan, kasih sayang, juga keikhlasan.
Kalian adalah dua sejoli yang saling mencintai layaknya pemuda lain, karena kalian memiliki cita-cita yang harus tercapai dan perasaan menggebu-gebu dalam jiwa layaknya juga seluruh pemuda yang ada. Telah kusampaikan kepada kalian batasan-batasan yang jikalau seandainya dipikulkan kepada sebuah gunung, niscaya ia tidak akan mampu mengembannya, apalagi kalau dipandang dari dua hati kalian yang tipis, kecil lagi lemah, sedangkan kalian setiap hari menyaksikan bermacam bentuk kisah cinta dalam kehidupan ditambah lagi dengan acara-acara televisi yang dapat menambah rasa cinta yang mendalam dalam jiwa kalian, hati saling terpaut, jiwa seakan-akan terpenjara, perasaan semakin kalut, air mata bercucuran, bahkan sampai ke suatu puncak detak jantung kalian menutupi dunia maya nun jauh di sana. Aku katakan kepada kalian: “Ini adalah suatu karunia yang dirasakan setiap kawula muda di mana pun mereka berada ketika melalui fase pubertas”
Adalah seorang pemudi Islam pada abad 21 ini menanyakan: “Apakah cinta itu?” Dan, ia pun menjawab sendiri: “Apakah cinta itu suatu perasaan yang dikaruniakan kepada dua jenis manusia yang berbeda. Kedua belah pihak tidak menghendaki apapun kecuali kelanggengan hubungan dan kebahagiaan mereka kelak? Atau, cinta itu hanya perasaan yang menyelubungi hati dan menjaganya dari kesulitan hidup dan rasa kesendirian? Atau, cinta itu hanya sekedar pandangan kelembutan yang membuat dua sejoli terlena? Atau, cinta adalah kata-kata yang bisa menjadikan dua hati terpaut erat karena makna-maknanya yang menyentuh dan membuahkan senyum manis dari bibir pendengarnya, menghilangkan rasa sedih, serta mengokohkan sanubari? Apakah cinta adalah rasa aman, tenteram, tenang ketika berada di samping orang yang paling dicintai? Atau, cinta adalah ketersipuan seorang gadis dan pipinya berubah menjadi merah ketika disebut nama sang kekasih? Atau, cinta itu dapat diartikan dengan terlihatnya getaran tangan seorang pujangga dan tercucurnya air mata bahagia dari pelupuk mata ketika sang kekasih sedang berlalu di hadapannya?
Apakah ini cinta? Apakah cinta dimulai dengan pandangan lembut, kata-kata puitis, senyuman cinta dan ketekadan, jalurnya adalah semangat, usaha dan berjuang demi mencapai impian dengan ending-nya adalah mahkota yang terbuat dari lantunan lagu yang akan menggapai sebuah mimpi indah dan memperoleh cita-cita sang kekasih? Setelah itu, mereka berdua akan hidup bersama di taman cinta dan bahagia. Dan, akhirnya mereka akan bersama untuk selamanya. Cinta dan keselarasan?
Apakah ini cinta? Atau, sesungguhnya cinta adalah sebuah nyanyian, kata-katanya kasih sayang, dilantunkan pada waktu yang indah dan makna-maknanya hanya harapan-harapan nominal.
Apakah ini namanya cinta?
Atau, engkau wahai cinta, adalah azab, penyesalan, kecemburuan, dan kesusahan yang tanpa batas, luka tanpa obat, serta penyesalan kepada sesuatu yang telah berlalu?
Apakah cinta itu?
Sesungguhnya cinta adalah sebuah bunga yang warnanya indah, baunya harum, sentuhannya mempesona, namun memiliki duri-duri yang menyakitkan ketika melukai dan ia tak terobati. Bekas lukanya tidak bisa hilang. Walaupun termakan waktu, ia tetap membekas.
Inilah sosok Imam Ibnu Hazm rahimahullâh seorang ulama besar, fakih dan muslim sejati yang mengarang kitab berjudul Thauq al-Hamâmah fî al-Hubb wa al-Muhibbîn (Kemampuan Seekor Burung Dara untuk Mencintai dan Disayangi). Ia tidak malu-malu mengutarakan perasaan seorang anak Adam yang sedang dilanda cinta walaupun ia seorang ulama besar dan fakih. Perlu digarisbawahi pula bahwasanya agama Islam tidak melarang seseorang mengungkapkan isi hatinya dan menyatakan perasaan seorang anak Adam yang sedang dilanda cinta. Sebagian orang berburuk sangka tentang apa yang disampaikannya, akan tetapi tidak bisa dinafikan karya lain beliau yang menyangkut masalah fikih, seperti kitab Mahally dan tentang perbandingan agama, yaitu kitab al-Fishal fî al-Milal wa an-Nihal. Semua kitab-kitabnya ini dapat menahan orang-orang yang berburuk sangka terhadapnya. []
01 April 2009
Ibnu Hazm dan Cinta
Ratman Boomen 01 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (RSS)
0 Responses:
Posting Komentar